JAKARTA - Armada perang Amerika Serikat (AS) termasuk kapal induk bertenaga nuklir USS Carl Vinson sudah siaga di Semenanjung Korea.  Tapi, Washington hingga kini belum berani menyerang Korea Utara (Korut) seperti menghujani pangkalan militer Suriah dengan rudal-rudal jelajah Tomahawk beberapa waktu lalu. Kapal-kapal perang AS yang dilengkapi rudal jelajah Tomahawk juga sudah berada tak jauh dari situs uji coba senjata nuklir Korea Utara (Korut). Namun Pyongyang tak gentar dan leluasa melakukan manuver militer.

Rezim Kim Jong-un—penguasa Korut—bahkan telah menggelar parade militer besar-besaran dan menguji tembak rudal balistik pada hari Sabtu lalu meskipun gagal. 

Presiden AS Donald Trump bisa saja beretorika telah menyiapkan opsi militer untuk rezim Kim Jong-un, setelah melakukan serangan singkat terhadap fasilitas militer Suriah. Tapi, kasus Korut berbeda dengan Suriah, di mana menyerang Pyongyang risikonya akan jauh lebih besar, terutama risiko bencana nuklir.

Berikut lima alasan mengapa AS tak dapat menyerang Korut seperti saat merudal Suriah.

1. Ada Perjanjian Gencatan Senjata

Semenanjung Korea secara teknis masih dalam kondisi. Pertempuran dihentikan pada 27 Juli 1953 di bawah perjanjan gencatan senjata yang ditandatangani oleh Washington dan Beijing—masing-masing mewakili Korea Selatan dan Korea Utara. Jika AS memulai serangan, itu akan mematahkan perjanjian gencatan senjata yang disahkan oleh PBB.

2. Nuklir Korut Jadi Pertimbangan

Suriah dan Korut berbeda kasus ketika konfrontasi dengan AS. Suriah diyakini sedang berambisi memiliki senjata nuklir. Sedangkan Korut sudah memiliki senjata nuklir dengan kemampuan yang telah matang dalam beberapa tahun terakhir.
 
Pyongyang telah melakukan lima kali uji coba senjata nuklir dan mengklaim telah berhasil menguji coba miniatur hulu ledak nuklir, meskipun klaim tersebut tidak pernah diverifikasi secara independen. Korut juga memiliki rudal jarak menengah Musudan yang berbahaya dan telah diuji coba pada tahun lalu.

Para ahli militer percaya bahwa Korut sudah belajar dari kemunduran dan bisa mengembangkan rudal balistik antarbenua pembawa hulu ledak nuklir yang dapat mencapai wilayah AS dalam empat tahun mendatang. Senjata nuklir dengan rudal antarbenua Korut inilah yang diduga jadi pertimbangan AS untuk berpikir dua kali jika nekat menyerang Pyongyang.

3. Terikat Perjanjian, China Pasang Badan untuk Korut

China adalah sekutu utama Korut. Pada tahun 1961, kedua negara menandatangani “Sino-North Korean Mutual Aid and Cooperation Friendship Treaty”, sebuah perjanjian di mana kedua belah pihak diwajibkan untuk menawarkan langsung bantuan militer dan bantuan lainnya jika salah satu dari mereka mendapat serangan dari luar atau dari musuh. Perjanjian ini berlaku sampai 2021. Dengan terikat perjanijan ini, kemungkinan China akan pasang badan untuk Korut jika diserang AS.

4. China Ngotot Menentang Opsi Militer AS dan Usul Resolusi Damai

China khawatir bahwa provinsinya yang dekat perbatasan Korut akan dibanjiri para pengungsi Korut jika jika rezim Kim Jong-un runtuh. Dari sudut pandang geopolitik, Pyongyang merupakan zona penyangga Beijing dari potensi perambahan kekuatan AS dan para sekutunya, seperti Jepang dan Korea Selatan.

China dalam beberapa pekan ini juga bersikeras menentang opsi militer AS dan menawarkan solusi damai untuk mengatasi krisis Korut. Sikap China ini juga diduga jadi pertimbangan AS untuk tidak leluasa menyerang Korut seperti saat menyerang Suriah.

5. AS Serang Korut, Korea Selatan dalam Bahaya

Selain China, Korea Selatan dan Jepang sejatinya juga lebih setuju opsi non-militer untuk mengatasi krisis Korut. Ibu Kota Korea Selatan, Seoul, hanya berjarak sekitar 40 km dari perbatasan Korut dan sangat rentan terhadap serangan rudal maupun nuklir rezim Kim Jong-un. Artinya, jika AS nekat menyerang Korut, Ibu Kota Korea Selatan dalam bahaya besar.

Sam Gardiner, seorang pensiunan kolonel Angkatan Udara AS seperti dikutip dalam sebuah wawancara dengan The Atlantic, mengatakan, “AS tidak bisa melindungi Seoul, setidaknya untuk 24 jam pertama saat perang pecah, dan mungkin untuk 48 pertama”. 

Mantan presiden AS Bill Clinton pernah serius memperdebatkan opsi pengeboman reaktor nuklir Yongbyon, Korut, pada tahun 1994. Namun, opsi itu diyakini para pejabat pertahanan AS akan menjadi pertempuran dahsyat dengan Korut. “(Perang itu) akan lebih besar daripada yang disaksikan dunia sejak Perang Korea terakhir,” tulis majalah The Atlantic.