Suasana hari mulai kekuningan, Syarief baru saja sampai di kampung halamannya, badannya masih terasa pegal, karena angkutan umum yang terlalu lambat dalam berjalan. Namun ia tidak menunggu lama, ia langsung menuju rumah Aisya untuk menemuinya.

Assalamualaikum

Wa’alaikum Salam” jawab Bu Aini dari dalam rumah yang sedang menjahit pakaian dengan mesin jahit.

Syarief masuk dan duduk sopan di kursi di depan Bu Aini

“Bagaimana proses kuliahnya?” tanya Bu Aini.

“Alhamdulillah lancar Bu, oia Aisya mana Bu?”

“Baru tadi siang berangkat ke Kota Banda Aceh, ia masuk di Farmasi” jawab Bu Aini dengan Bangga.

Mendengar jawaban dari Bu Aini, hati Syarief berdebar, lulutnya terasa lemah, ia menyangka kalau Tuhan tidak menerima Do’anya selama ini. Maka cepat-cepat ia  bangun dan mendekati Bu Aini, seraya ia memohon, “Bu, Izinkan Syarief ketemu sama Aisya Bu?”

Bu Aini tersenyum, beliau mengira kalau Syarief pasti sedang merindukan Aisya, maka beliau menjawab dengan santai, “Siapa yang larang kalian untuk bertemu? tapi masih seperti dulu, ada Ibu di antara kalian berdua sebagai Mahram Aisya.”

“Insya Allah Bu.” jawab Syarief

Syarief bangun dan bersandar di pintu, yang membelakangi Bu Aini, ia terlihat kegundahan, hatinya berkata dengan jeritan “Aisya… apakah Aisya sudah lupa dengan do’a yang pernah Aisya titip sama kakak?”

Bu Aini melihat Syarief kegundahan, maka beliau berhenti menjahit.

“Syarief…”

“Ia Bu…” jawab Syarief sambil menoleh.

“Duduklah…”

Maka Syarief pun kembali ke kursi dan duduk.

“Ada apa dengan Syarief?” tanya Bu Aini dengan harapan Syarief akan mengaku bahwa ia sedang mencintai, dan merindui Aisya.

Syarief terlihat gugup, ia berfikir kalau ia pinta sama Bu Aini, supaya Aisya masuk ke pesantren, itu mudah, tapi bagaimana cara membujuk Aisya? karena keinginan seseorang tidak bisa dipaksa.

“Gak papa Bu!” jawab Syarief.

Bu Aini tau kalau Syarief sedang dalam keadaan kurang baik, tapi malah ngaku gak papa. Maka beliau pun melanjutkan pekerjaannya tanpa peduli kepada Syarief.

Lalu Syarief pun pulang dengan membawa harapan yang kosong.

***

Pada malamnya, Syarief pergi ke tempat ia belajar dan mengajar dulu, yaitu Dayah Syifaul Qulub. Tiba di sana ia langsung ke balai paling belakang, yaitu balai tempat ia belajar bersama Ustaz Hasan. Lalu ia mencoba naik ke balai tersebut, tapi ketika ia menaiki tangganya, ia melihat ke dalam balai tersebut, banyaknya santri dan santriwati, tapi tiada satu pun yang dikenalinya, dan tidak ada yang mengenalnya, ternyata penghuni balai tersebut sudah berganti, karena teman-temannya semua sudah keluar, termasuk Mista, dan Rajul.

Maka Syarief pun duduk di tangga, tempat di mana biasa ia duduk bersama Aisya beberapa tahun yang lalu, sehingga membuatnya rindu untuk duduk kembali bersama Aisya di sini, tapi kenyataannya, jangankan untuk duduk bersamanya, untuk bertemu pun sangat susah. lalu ia menundukkan kepalanya, karena menahan sakitnya rindu, seraya hatinya berkata.

”Wahai Tuhan… Engkau yang telah mempertemukan kami, dan Engkau pula yang telah memisahkan kami, maka jadikanlah pertemuan dan perpisahan ini adalah pertemuan dan perpisahan yang Engkau ridhai, dan jika esok Engkau mengizinkan kami kembali, maka satukanlah kami kembali dalam kasih sayang-Mu yang abadi.

Tuhan, jagalah dia, selimutilah dia dengan kasih sayang-Mu, dan ridhailah setiap langkah-langkahnya, karena dia..., dia adalah motivator bagiku, yang telah membangunkanku di saat aku terjatuh, dia yang telah merawat lukaku saat aku tersungkur, dan dia juga yang telah memberikan warna-warna indah dalam kisah perjalanan kehidupanku,

Wahai  engkau... yang telah melumpuhkan hati ini, di sini aku masih menanti mengharap engkau kembali bersama cintamu yang suci. Maka di sini aku terpuruk dalam kesendirian yang tenggelam dalam kerinduan, dan bersaksi kepada tuhan, sesungguhnya aku masih....... mencintaimu.”

Tiba-tiba terdengarlah suara kaki yang berjalan di depannya, semakin lama semakin dekat, maka Syarief pun membangkitkan kepalanya, dan melihat di depannya ada seorang santriwati cantik, dan berkacamata, yang mengenakan gamis biru, hijab hitam mengkilat, santriwati itu tersenyum sambil memeluk kitabnya, ternyata itu Naila yang hendak naik ke balai tersebut. Namun ketika Naila melihat di depannya ada Syarief, maka senyuman di wajahnya berubah, dan cepat-cepat berpaling, seakan-akan ia hendak berlari menjauhi Syarief, karena luka lama masih terasa, ketika ia membuka hati untuk Syarief, tapi Syarief tidak menghargainya, bahkan salamnya pun tidak terbalas.

“Naila…” panggil Syarief

Naila menghentikan langkahnya, dan menoleh kembali, maka Syarief pun mendekati Naila.

“Maafkan saya ya… dengan kejadian yang dulu!” kata Syarief.

“Maaf? kejadian apa ya?” tanya Naila yang pura-pura lupa.

“Lebih baik jangan dekati Naila, takutnya nanti pacarnya marah!” sambung Naila.

“Pacar saya? Siapa?” tanya Syarief yang pura-pura tidak ngerti maksud Naila.

“Aisya” jawab Naila singkat.

Syarief diam, ia tidak tau bagaimana cara ia jelaskan kepada Naila bahwa Aisya itu bukan pacarnya, kalau ia jawab bahwa Aisya bukan pacarnya, pasti Naila mengira, kalau Syarief ingin mencari kesempatan kedua, atau Syarief itu playboy yang menginginkan kedua-duanya.

“Yasudah, saya hanya mau minta maaf sama Naila, dan saya ingin menjawab salamnya yang dulu, dengan ucapan “Wa’laikumsalam” kata Syarief tegas.

“Silahkan…” sambung Syarief sambil tangannya menyilahkan Naila naik ke balainya.

“Ia, terima Kasih” jawab Naila sambil melangkah ke balainya.

Syarief juga pergi, ia hendak menemui Abia.