Hingga saat ini kebutuhan gelatin di Indonesia sepenuhnya masih diimpor dari luar negeri. Padahal bahan itu sangat penting untuk berbagai produk, salah satunya cangkang kapsul dalam industri farmasi. Oleh karena itu, umat Muslim Tanah Air diibau waspada dengan kehalalan bahan tersebut.

" Karena gelatin itu harus diimpor, seperti dari China, Australia, dan negara-negara di Eropa, maka tentu harus dicermati aspek kehalalannya," kata Kepala Bidang Training & Sertifikasi Personal LPPOM Majelis Ulama Indonesia, Nur Wahid, dikutip dari halalmui.org, Kamis 9 Februari 2017.

Gelatin, kata Nur, utamanya diproduksi dari bahan baku kulit maupun tulang hewan. Bahan-bahan itu dikumpulkan oleh produsen gelatin dari berbagai Rumah Potong Hewan (RPH). Satu industri gelatin, tidak cukup bila memperoleh bahan baku hanya dari satu RPH. Sebab, rendemen --perbandingan jumlah minyak yang dihasilkan dari ekstraksi-- bahan baku tulang sangat rendah, untuk dibuat menjadi gelatin. Hanya sekitar 15-20%.

Dari 1 ton tulang, kata dia, hanya dapat dibuat sekitar 200 kg gelatin. Maka, kalau satu industri gelatin memiliki kapasitas produksi 1 ton per harinya, tentu diperlukan sangat banyak bahan baku tulang, yang tidak mungkin dapat dipenuhi hanya dari satu RPH.

Yang menjadi titik krusial dalam konteks ini, tambah Nur, tidak semua RPH di luar negeri didedikasikan untuk menyembelih hewan yang halal saja. Karena sangat mungkin terjadi, satu RPH dioperasikan untuk menyembelih sapi yang halal, dan banyak RPH lainnya untuk menyembelih sapi ataupun babi, atau juga hanya babi saja, yang jelas tidak halal dalam Islam.

Sedangkan, untuk produksi gelatin yang halal, tentu harus diperoleh dari RPH yang hanya dioperasikan untuk menyembelih hewan yang halal saja.

" Oleh karena itu, sangat mungkin terjadi, dan pada kenyataannya memang demikian, yakni bahwa gelatin yang merupakan bahan untuk membuat cangkang kapsul itu dibuat dari tulang dan kulit babi. Sehingga karenanya tentu harus diwaspadai dan dicermati aspek kehalalannya," tutur Nur.

Bila gelatin diproduksi dari bahan kulit hewan, tambah Nur, maka kondisinya menjadi lebih rumit, dan tingkat krusialnya lebih tinggi lagi. Sebab, kulit tidak termasuk ke dalam kategori produk pangan, tetapi dianggap sebagai bahan industri. Karena dapat diolah menjadi bahan untuk produk sepatu, sabuk, jaket kulit, dan lainnya. Sehingga tidak ada klasifikasi kulit yang halal maupun haram.

Selain itu, ditinjau dari segi penyembelihan, gelatin dari tulang sapi juga harus dicermati. Sebab, di luar negeri tidak semua RPH didedikasikan hanya untuk penyembelihan halal, meski yang disembelih hanya sapi saja.

Meskipun gelatin dibuat dari tulang sapi, tapi kalau proses penyembelihannya tidak sesuai dengan kaidah syariah, maka tetap saja menjadi tidak halal untuk konsumsi umat Muslim. Dan dengan demikian, bahan tulang untuk produksi gelatin juga menjadi tidak halal.

Oleh karena itu, kata Nur, produksi gelatin tentu harus diaudit dengan cermat dalam proses sertifikasi halal, guna menjamin kehalalan produk gelatin untuk konsumsi umat Muslim.

Dalam proses audit pada industri gelatin, yang dilakukan oleh tim auditor LPPOM MUI, di antaranya dengan menghitung Mass Balance, atau perhitungan kesetimbangan massa. Yakni dengan menghitung kapasitas produksi gelatin yang dihasilkan secara faktual oleh industri yang diaudit dengan ketersediaan bahan baku tulang dari hewan yang halal, dan keberadaan RPH yang memasok tulang dari hasil sembelihan yang halal.

" Dengan penghitungan Mass Balance itu, dapat diketahui tingkat rasionalitas dan proporsionalitas produksi gelatin yang halal, dari industri yang diaudit," ujarnya Nur.

Kalau tingkat produksi gelatin mencapai kapasitas tertentu, sementara pasokan tulang atau kulit yang halalnya tidak sesuai, maka tentu akan dapat dipertanyakan keabsahannya.