Satu tahun kemudian, setelah Syarief pergi meninggalkan desanya, dan ia sudah mulai kuliah di STAIN Malikussaleh Lhokseumawe, mengambil Jurusan Agama, dan kini ia tinggal di pesantren Miftahul Ulumi yang terletak antara kota dan kampusnya, di sana ia belajar kitab-kitab, sekaligus mengajarnya.

Malam itu habis magrib, suasana persantren tersebut, terdengar ribut, karena para santri yang sudah mulai rame, Syarief sedang makan dalam kamarnya yang sederhana, dengan perasaannya yang sedikit gelisah, karena tadi siang ketika ia pulang kuliah, dalam mobil labi-labi yang ia tumpang, di sana ia bertemu dengan siswa yang baru saja lulus dari sekolahnya tingkat Aliyah, karena itu ia mengingat sosok Aisya yang ia tinggalkan di desa, ia takut kalau Aisya sudah lupa dengan Do’a yang ia titip padanya, yaitu masuk ke pesantren ternama, bukan kuliah.

***

Aisya yang sedang di desa, ia baru keluar dari rumahnya untuk ke tempat belajarnya, yaitu Dayah Syifaul Qulub, dengan langkahnya yang lembut, dengan hatinya dan perasaannya yang berkabut, karena besok ia mau berangkat ke Banda Aceh, untuk melanjutkan kuliahnya di bagian Farmasi, tapi ia belum bertemu sama Syarief, untuk mengutarakan maksud dan cita-citanya, beserta mohon pamit untuk meninggalkan desa Aluebarueh.

Sesampai di balainya, ia duduk di tangga, tempat di mana biasa ia duduk bersama Syarief, setiap malam sebelum belajar. Ia terlihat sedih sambil tangannya mencoba meraba tempat duduk Syarief di sampingnya, pikirannya kembali teringat, ketika pertama Syarief duduk di sampingnya, yaitu ketika Syarief menunjuk tempat duduk itu, dan meminta kepadanya dengan sopan, “Boleh kakak duduk di situ?”

Seakan-akan Aisya ingin bertanya keberadaan Syarief kepada tangga yang ia duduki, kepada balai-balai yang berbanja, tapi ia yakin bahwa mereka juga tidak bisa menjawabnya. Aisya juga ingin bertanya kepada Rajul, Mista, dan teman-teman yang lain, tapi sayangnya, mereka sudah keluar dari pesantren itu. maka Aisya pun bertanya kepada dirinya sendiri, “Kak Syarief… kakak di mana?”

***

Selesai makan, Syarief keluar dari kamarnya untuk mengajar, karena aktifitasnya di pesantren dari jam 8 - 9:30 itu mengajar, jam 10-11 itu belajar bersama Abi pimpinan pesantren tersebut.

***

Akhirnya jam sudah menunjuki pukul 10 malam, Aisya  baru pulang dari tempat ia belajar, lalu cepat-cepat ia letakkan kitab di rak bukunya, dan menuju ruang tamu untuk mencari HP Bu Aini, ia berfikir bisa menghubungi Syarief lewat HP, ia genggam Hpnya dan mencari kontak Syarief, namun ia tidak menemukan kontak yang bernama Syarief, tiba-tiba ia ingat kalau ia pernah menuliskan nomor Syarief di buku hariannya bersama Syarief, ia cepat-cepat mencari buku tersebut di rak bukunya bersama Hp yang masih tergenggam di tangan kirinya, keringatnya mulai keluar, karena harus mencari satu persatu, dalam kawanan buku yang terlalu banyak.

Akhirnya Aisya  kelelahan dalam mencari buku tersebut, maka ia pun berhenti mencari, lalu ia berfikir, saya letak di mana ya buku itu? tiba-tiba hadir di pikirannya bahwa buku itu sudah menjadi debu, dalam jangka 2 tahun yang lalu, ia membakarnya karena kebenciannya dulu yang tak terkontrol. Maka ia pun bangun dan meletakkan Hp Bu Aini pada tempatnya, lalu ia masuk ke kamarnya dengan perasaan kecewa.

Suasana rumahnya mulai sunyi, hatinya menjerit, karena tidak bisa menggunakan keindahan pertemuan, dan nikmatnya kebersamaan dengan baik, matanya mulai berkaca, karena mengingat masa lalu, ketika ia menyakiti hati Syarief, berkata-kata keras kepadanya, bahkan memarahinya, ia masih bisa membayangkan wajah Syarief yang sedih ketika menerima kata-kata kasar darinya, yang sampai hari ini, ia belum meminta maaf padanya, sehingga ia berkata dengan lirih, “Kak… Maafkan Aisya ya kak”

Akhirnya jam di dinding kamarnya sudah pukul 11 malam, lalu Aisya pun bangun, sambil ia hapus air matanya, ia keluar dari kamarnya dan menuju tempat wudhuk untuk melakukan Shalat ‘Isya.

***

Sementara Syarief yang di pesantren, ia baru keluar dari belajarnya, ia tidak menunggu lama, langsung ke tempat wudhuk. Hatinya masih gelisah, apakah Aisya masuk ke pesantren? Bagi Syarief mustahil bisa bertemu dengan Aisya, apalagi untuk mengutarakan maksud hatinya, yaitu Aisya masuk ke pesantren, ia hanya bisa menantikan sebuah keajaiban, yaitu Do’anya selama ini terkabulkan.

Selesai berwudhuk, Syarief masuk ke musala pesantrennya, yang sudah mulai gelap, ia hanya menghidupkan satu lampu, apalagi lampu-lampu di balai yang lain sudah dimatikan, karena para santri semua sudah pulang. Lalu ia pun melentangkan sajadahnya, dan berdiri dengan tegak di atasnya, lalu ia menghela nafasnya mencoba menghilangkan beban di pikirannya, supaya Shalatnya Khusyuk.

Begitu pula Aisya di sana, selesai berwudhuk, ia juga masuk ke ruang musala, yang terletak di depan kamarnya, lalu ia lentangkan sajadahnya dan memakai Mukenahnya yang berwarna putih suci.

“Allahu Akbar!” suara Takbiratul Ihram Syarief, yang terdengar serak dari musala pesantren.

“Allahu Akbar!” suara Takbiratul Ihram Aisya, yang terdengar halus, dari ruang musala rumahnya.

Mereka pun Shalat yang terlihat Khusuk, dalam setiap sujud, dan rukuk, mengharap kedamaian dan ketenangan yang dari sejak dulu mereka rindukan.

Selesai Shalat, Syarief menadahkan tangannya dengan hatinya yang sangat ikhlas, Maka bibirnya pun bergetar, yang mengeluarkan lafadh.

“Ya Allah, hidupku milik-Mu, kujalani untuk menggapai cinta-Mu, izinkanlah aku berkorban demi Agama-Mu, maka tunjukkanlah ia (Aisya) akan jalan-Mu, sampaikanlah ia pada tempat berkumpulnya para Ulama-Mu (Pesantren), penuhilah hatinya dan hatiku dengan Ilmu-Mu, dan hiasilah hatinya dan hatiku dengan cahaya Iman-Mu, kekalkan cintanya dan cintaku hanya untuk-Mu, sampai… kami kembali kepada-Mu”

Aisya juga berdo’a dalam nafas malamnya, yaitu semoga Allah mempertemukannya dengan Syarief walau hanya sekejab dalam pandangan, walau hanya sedetik dalam mimpi, untuk ia meminta maaf kepadanya atas khilaf dan salah selama bersamanya.

Lalu Aisya melepaskan Mukenahnya, dan bersiap-siap untuk tidur, dengan perasaan hati yang gelisah, karena besok ia sudah pergi. Begitu pula Syarief yang di pesantrennya, selesai berdo’a ia masuk ke kamarnya untuk tidur, karena besok ia harus masuk kuliah.