NEW YORK - Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres menyerukan agar kebijakan imigrasi Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dicabut. Guterres menyebut kebijakan itu tidak akan mencegah terorisme masuk ke AS.

"Saya pikir langkah ini (kebijakan imigrasi Trump) seharusnya dihapus segera, bukannya nanti-nanti," tutur Guterres kepada wartawan seperti dilansir AFP, Kamis (2/2/2017).

"Langkah ini melanggar prinsip dasar kita dan saya pikir itu tidak efektif jika memang tujuannya adalah untuk, sungguh-sungguh, menghindari teroris masuk ke Amerika Serikat," imbuhnya. 

Seruan Guterres ini muncul di tengah maraknya kritikan internasional terhadap kebijakan Trump yang melarang warga dari Irak, Iran, Libya, Somalia, Sudan, Suriah dan Yaman masuk ke AS untuk 90 hari ke depan. Dalam kebijakannya yang ditandatangani Jumat (27/1), Trump juga menangguhkan penerimaan pengungsi untuk 120 hari ke depan, kecuali pengungsi asal Suriah yang dilarang masuk AS untuk batas waktu yang belum ditentukan.

Menanggapi hal itu, Guterres meminta pemerintahan AS mencabut kebijakan itu. "Permukiman kembali (resettlement) menjadi keharusan dari sudut pandang perlindungan pengungsi," sebut Guterres, yang menjabat Ketua Badan Pengungsi PBB (UNHCR) selama 10 tahun sebelum menjabat Sekjen PBB.

"Saya sangat mengharapkan agar AS mampu menegakkan kembali perlindungan pengungsi yang sangat solid dalam permukiman kembali dan saya harap warga Suriah tidak akan diabaikan dalam proses itu," harapnya. 

Guterres menjabat Sekjen PBB menggantikan Ban Ki-moon sejak 1 Januari lalu. Menurutnya, melarang warga dari negara-negara mayoritas muslim tidak akan mencegah organisasi teroris melancarkan serangan terhadap AS. 

"Kita berhadapan dengan organisasi teroris yang sangat canggih," sebutnya. 

"Jika organisasi teroris global akan menyerang negara seperti Amerika Serikat, mereka tidak mungkin datang dengan orang berpaspor negara-negara yang menjadi titik panas konflik saat ini. Mereka mungkin datang dengan paspor dari negara yang paling kredibel dan maju di dunia, atau mereka mungkin memanfaatkan orang-orang yang sudah ada di AS," tandas Guterres.