Setelah melafadhkan kata Khitbah itu kepada Aisya, Syarief mulai sedikit tenang, walau Aisya tidak menjawab, tapi sekurang-kurangnya Aisya sudah tau bahwa Syarief masih mencintainya, jadi baginya kini  hanya menantikan waktu untuk berterus terang kepada Bu Aini tentang cintanya kepada Aisya.

Sepulang dari musala, malam itu Syarief duduk di meja belajarnya dengan termenung, tiba-tiba Rival yang baru saja selesai makan, ia masuk ke kamarnya, di sana ia melihat Syarief sedang termenung.

“Aisya lagi ya? gak usah kakak fikirkan Aisya, kakak sudah jadi orang sukses sekarang, sudah dikenal banyak orang termasuk kepala sekolah, karena kakak bisa tampil Bahasa Arab di sekolah, sekarang jangankan Aisya, putri raja pun bisa kakak miliki!” kata Rival.

“Jangankan putri raja, bidadari saja kakak gak mau, kalau bukan Aisya!”

“Tapi bukan itu yang kakak fikirkan!” sambung Syarief.

“Terus…?” tanya Rival

“Ustaz Firman minta kakak untuk ngajar di tempat pengajiannya, yaitu Babul Jannah, 1 atau 2 malam dalam satu minggu.” sambung Syarief.

“Bagus tu kak…” jawab Rival dengan ceria, karena Babul Jannah adalah tempat ia belajar.

Syarief pun mulai berfikir, untuk menolak itu tidak mungkin karena Ustaz Firman adalah guru yang memperkenalkan huruf hijaiyah kepadanya.

***

            Beberapa hari kemudian, Akhirnya Syarief memutuskan untuk mengajar di Babul Jannah malam Sabtu dan minggu, maka malam ini adalah malam pertama ia mengajar di Babul Jannah, dan Ustaz menyuruhnya untuk mengajar di  kelas 4.

Maka Syarief pun masuk ke kelas tersebut untuk mengajar, namun ia tercengang, melihat santrinya adalah teman sebayanya, termasuk Rival dan Rozi. Sementara Rozi, ia kaget bukan main, ketika ia melihat gurunya malam ini adalah laki-laki yang paling ia benci, bahkan ia pernah bercita-cita untuk membunuhnya. Namun Rozi hanya menunduk dan mendengar baik-baik syarahan kitab dari musuhnya dengan wajah terlihat pucat.

Sementara Rival, ia merasa cemburu ketika mendengar syarahan kitab dari kakaknya, sehingga tercipta cita-cita baru di hatinya, yaitu belajar lebih sama Syarief di rumah.

Setelah proses belajar mengajar selesai, maka para santri semua bangun untuk bersalaman dengan Ustaz mereka, yaitu Syarief, terakhir Rozi, ia sengaja bersalaman dengan Syarief di giliran terakhir, supaya bisa bicara sebentar, lalu ia melutut, duduk dengan sopan dan bersalaman dengan Syarief, tangannya bergetar, seakan-akan ia merasa menyesal.

“Maafkan saya Ustaz!” kata Rozi.

Syarief tersenyum, lalu ia menjawab “Gak papa! seharusnya saya yang harus berterimakasih padamu.”

“Kenapa?” tanya Rozi kaget, karena ia tau bahwa ia sudah bersalah sama Syarief, tapi malah Syarief berterimakasih kepadanya.

“Karena tanpa adanya kamu, aku tidak bisa seperti ini, semua ini berkat kamu, kamu harus tau, bahwa ujian itu terbagi kepada tiga, ujian bagi orang yang lalai untuk menyadarkannya, ujian bagi orang yang ta’at untuk menyabarkannya, ujian bagi orang kafir untuk mengazabkannya, dan saya sadar kalau waktu itu saya sedang lalai, sehingga Allah memberikanku ujian melaluimu, makanya saya berterimakasih kepadamu.”

Rozi merasa merinding, mendengar kata-kata Syarief yang tidak menyalahkannya, dulu ia berfikir dengan kelakuannya itu, bisa menjatuhkan nama Syarief, ternyata Syarief malah bangkit.

“Mohon pamit Ustaz, Assalamualaikum!

“Ia, Wa’alaikum Salam!

Syarief juga pulang bersama Rival, sesampai mereka di rumah, mereka Shalat seperti biasa, dan duduk sejenak di meja belajar mereka.

“Mulai malam ini kakak harus ajarkan Rival membaca kitab, Insy Allah tahun depan Rival mau masuk ke pasantren.” kata Rival.

Syarief merinding mendengar cita-cita Rival, yaitu masuk ke pesantren, karena ia sangat bercita-cita supaya Aisya masuk ke pesantren yang megah.

“Kenapa harus kakak ajarin, kalau mau masuk ke pesantren yang megah? Di sanakan Rival bisa dapat lebih.” jawab Syarief senang.

“Ia sih kak, cuma untuk permulaan aja, sebelum di sana.”

“Ia, boleh.” jawab Syarief.

Sejenak mereka terdiam, Syarief terbayang akan sosok Aisya, seraya hatinya berdo’a “Ya Allah tunjukkan jalan untuk Aisya sampai di pesantren, ampunkan dosa-dosanya dan dosa kami berdua!

“Eh, tadi kakak ketemu Aisya!” sambung Syarief.

“Pasti liat doank kan?” tanya Rival remeh sambil melihat dengan ekor matanya.

“Ngak!” jawab Syarief.

“Jadi kakak ngomong apa?” tanya Rival semangat, karena mau dengar ceritanya, sambil memasang telinga baik-baik.

Lalu Syarief pun bercerita dengan senyam senyum.

“Begini, tadi kakak keluar rumah menuju pasar dengan jalan kaki, tiba-tiba kakak lihat Aisya yang berjalan dengan berbeda arah, ketika pas pasan, “Ustaz…” sapa Aisya dengan lembut sambil menunduk senyum, anehnya dulu ia sapa kakak dengan sapaan “Kakak” tapi, tadi siang ia sapa dengan “Ustaz”, terus kakak pun menjawab “Ia Ifa!” itu aja, terus kami lanjutkan perjalanan masing-masing, abis!”

“Ah… sama dengan kakak gak ketemu sama Aisya, kalau cuma senyum doang.” Kata Rival.

Rival kembali kecewa, dengan cerita yang begitu aja. Sambil mereka tertawa dan bercanda.