Pada malam selanjutnya, sesudah maghrib, Syarief dan Rival langsung menuju rumah Aisya, dalam perjalanan Rival degdekan, takut ketemu Bu Aini.

“Kakak ke depan!” suruh Rival, sambil mendorong Syarief ke depan.

“Ya...”

Sampailah mereka di rumah Aisya, Syarief  memberikan salam.

“Assalamualaikum!

“Wa’alaikum salam!jawab Bu Aini dari dalam sambil membuka pintu rumahnya.

“Eh Syarief, Rival... Masuklah!” Kata Bu Aini

“Ia Bu... “ Jawab Syarief sambil senyum

Syarief dan Rival pun masuk dan bersalaman dengan Bu Aini, Aisya juga keluar dari kamarnya untuk bersalaman dengan Syarief dan Rival.

“Duduklah!” Suruh Aisya

“Ia.“jawab Rival senyum sama Aisya.

Bu Aini meninggalkan mereka, dan masuk ke kamarnya, biarkan saja Syarief dan Aisya bertemu, karena ada Rival yang bisa menemani mereka, pikir Bu Aini.

Sementara Aisya, ia ke belakang untuk menyiapkan air untuk para tamunya.

Sambil duduk, Rival merasa lega karena Bu Aini tidak duduk bersamanya, lalu ia berbisik kepada Syarief, “Malam ini giliran kakak, bicaralah sepuasnya sama Aisya!”

“Ia,” jawab Syarief

Tiba-tiba Aisya kembali dengan membawa dua gelas air untuk tamunya, dan meletakkan di depan para tamunya, lalu ia duduk dengan sopan yang sedikit jauh dari tamunya bersama senyuman yang tersipu.

“Aisya ada hubungan apa sama Rozi?” tanya Rival sama Aisya.

“Gak da apa-apa! dia itu suka sama Aisya!”

“Kenapa gak diterima?”

“Ya gak suka ja!”

Syarief yang mendengar pembicaraan mereka, ia hanya diam saja, tiba-tiba ia mencicipi air buatan Aisya.

“Kurang gula Sya!” kata Syarief.

“Ooo bentar ya kak!”

Lalu Aisya bangun dari tempat duduknya dan mengambilkan gelasnya Syarief, membawa ke belakang untuk ditambahkan gula.

“Malam ini giliran kakak, bicaralah sama Aisya” bisik Rival sama Syarief.

“Ia” jawab Syarief

Tiba-tiba Aisya pun kembali dan mengembalikan gelas yang berisi minuman untuk Syarief, dan ia kembali duduk di tempatnya. Sementara Rival yang duduk di samping Syarief, ia mencolek Syarief untuk menyuruhnya berbicara, namun Syarief tak mampu membuka mulutnya, karena sebenarnya bukan canda dan berbicara lama yang diinginkannya, tapi ia hanya menginginkan sebuah senyuman Aisya untuknya, dan mencoba mengingatkan Aisya tentang janji cinta yang dulu pernah terlafadhkan di antara mereka.

“Kak Rival belajar di mana?” tanya Aisya.

“Eh?” tanya Rival lagi, karena tadi tidak dengar, ia sibuk menyolek Syarief.

“Kakak ngaji di mana?” tanya Aisya pelan.

“Ooo di Babul Jannah!” jawab Rival dengan salah tingkah, sambil ia mencicipi minumannya.

“Kurang gula Sya!” kata Rival.

“Ooo sebentar ya!” jawab Aisya.

Aisya pun ke belakang untuk menambahkan gula dalam minuman Rival dengan perasaan geram kepada tamunya, untung tamunya adalah Syarief, yaitu laki-laki yang pernah menemaninya di desa ini, kalau bukan Syarief, sungguh ia akan menyuruh para tamunya untuk pulang saja.

“Kak, kakak bicaralah sama Aisya” bisik Rival kepada Syarief dengan geram sambil menggigit giginya.

“Ia, ia!” jawab Syarief.

Tiba-tiba Aisya pun kembali, mengembalikan minuman Rival, dan duduk kembali. Maka Syarief pun mulai membuka mulutnya.

“Eeeeeee Aisya!” sapa Syarief.

“Ia kak!” jawab Aisya ramah.

“Eeeee suatu sa’at nanti, kakak akan mengkhitbahkan Aisya!” kata Syarief gagap, takut Aisya akan menolak, atau menjawab dengan kata-kata keras yang menyakitkan hatinya kembali.

Ketika Aisya mendengarkan kata-kata itu, ia menundukkan kepalanya, mencoba menyelami hatinya, namun di sana tiada lagi sedikit pun cinta buat Syarief, karena tertutup oleh benci yang menggebu, walau benci sudah mulai tertutup oleh rasa kasihan. Jadi yang ia rasakan kini buat Syarief hanya sekedar kasihan, sehingga ia tidak mampu menjawab kata-kata Syarief.

Rival juga terdiam, ia heran, kenapa Aisya gak jawab kata-kata Syarief, kenapa malah nunduk? dalam hati Rival pun penuh tanya, Khitbah Itu apa ya?”

Karena semua sudah terdiam, Rival melanjutkan bicaranya bersama Aisya, sementara Syarief hanya mendengar pembicaraan mereka hingga jam 9 malam, sudah waktunya pulang. Maka mereka pun bangun, terutama Rival, ia langsung menuju pintu, di belakangnya, barulah Syarief menyusul, Aisya sengaja berjalan di dekat Syarief, untuk mengobati luka di hati Syarief, karena cinta tidak lagi dibalas olehnya.

Ketika tiba di pintu, Aisya melihat Rival sudah di gerbang, maka ia pun mengeluarkan kata-katanya untuk Syarief dengan lembut “Kakak, kita berteman seperti dulu saja ya!”

Sekujur tubuh Syarief melemah, karena kata-kata yang Aisya keluarkan, jauh dengan impian cintanya, seraya ia bersandar di dinding rumah Aisya, dan menjawab “Tidak mungkin, karena jejak cinta tetap ada, luka tetap berbekas!”

“Aisya gak ngerti, entah kenapa Aisya tidak lagi mencintai kakak!”

Syarief hanya diam dengan wajah yang sedih, hatinya sangat terpukul ketika mendengar kata-kata Aisya yang tidak lagi mencintainya. Lalu Syarief pun mengangkatkan langkahnya untuk pulang, dengan langkah yang lembut sambil menelan ludahnya untuk mengikhlaskan hatinya, agar ia bisa hidup tenang.

Lalu Aisya pun masuk ke rumahnya dan menutup pintu rumahnya dengan hati yang gelisah, karena ia mulai menanggung kesalahannya terhadap Syarief.

Syarief dan Rival pun pulang. Dalam perjalanan Rival tertawa berbahak-bahak, membuat Syarief heran dengan tawanya yang tiba-tiba.

“Kenapa?” tanya Syarief.

“Tadi kakak bilang apa sama Aisya?”

“Ya... seperti yang Rival dengar!”

Khitbah itu apa kak?” tanya Rival penasaran.

“Meminang!” bisik Syarief.

“Oooo yaya, tapi kakak jangan takut, Aisya pasti terima kakak!” kata Rival meyakinkan.

“Ya... Do’akan saja, oia terimakasih ya!”

“Terimakasih kenapa?”

“karena sudah temani kakak ke rumah Aisya, kalau gak ada kamu, kami gak bisa bertemu!”

“Ya ya ngerti” jawab Rival.