JAKARTA – Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Patrialis Akbar ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka skandal suap judicial review atau uji materi UU Nomor 14 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Pakar hukum pidana asal Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar mengatakan, dengan ditetapkannya Patrialis Akbar sebagai tersangka menambah catatan kelam bagi lembaga peradilan di Indonesia. Menurutnya, itu adalah salah satu bukti mafia kasus di pengadilan masih marak.

"Korupsi di peradilan (judicial corruption) masih merajalela, terutama penggunaan kekuasaan menjadi habit (kebiasaan lingkungan) yang melekat pada siapapun,” ujarnya, Minggu (29/1/2017).

Selain itu, kata Fickar, Patrialis merupakan hakim senior di Mahkamah Konstitusi (MK) yang juga pernah merasakan beberapa jabatan penting di pemerintahan‎. Namun begitu, hasratnya untuk mendapatkan kekayaan telah membutakan langkahnya untuk memberantas korupsi.

‎"Orientasi hidupnya pada materi telah mengalahkan intelektualitas dan keberagamaannya. Padahal salary yang diterima sebagai hakim konstitusi cukup lumayan besar untuk hidup," tukasnya.

Seperti diketahui, tim satgas KPK kembali melakukan operasi tangkap tangan (OTT) pada Rabu, 25 Januari 2017 di tiga lokasi yang berbeda. Sebelas orang diamankan dalam operasi tangkap tangan terkait skandal suap judicial review atau uji materi UU Nomor 14 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.

Namun setelah dilakukan ‎pemeriksaan, empat orang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Empat tersangka tersebut yakni Patrialis Akbar (PAK) sebagai penerima suap, Kamaludin (KM) sebagai perantara, dan dua pihak swasta yaitu Basuki Hariman beserta sekretarisnya, NG Fenny.

Patrialis dan Kamaludin disangkakan melanggar Pasal 12c atau Pasal 11 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 ‎Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) seperti diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Adapun kepada Basuki dan Fenny yang diduga sebagai pihak pemberi suap, KPK menjerat dengan Pasal 6 ayat (1) huruf a atau Pasal 13 UU Pemberantasan Tindak Pemberantasan Korupsi (Tipikor) Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.