setelah melalui hidup di dalam bulan Ramadhan, Syarief dan Aisya tak pernah bertemu setelah bertemu pada malam perpisahan bulan Ramadhan kemaren, apa lagi Aisya tidak pernah keluar rumah. Aisya hanya pernah bertemu dengan Rival, itu pun hanya sekedar menanyakan kabar Syarief.

Dan kini telah tiba di bulan Ifawal, di mana hari itu ummat muslim merayakan hari lebaran Aidul Fitri. Tepat malam lebaran yang ke dua, semua santri berkumpul ke pesantren untuk menjumpai Guru-guru mereka, dalam suasana ramai satu persatu santri datang, termasuk Aisya, Mista, Naila, Rajul, terakhir Syarief, walau datang sedikit terlambat.

Assalamualaikum!” Ucap Syarief.

Wa’alaikum Salam!” jawab kawan-kawan.

Ia masuk dan bersalaman dengan semua teman-teman, tidak lupa juga bersama Ustaz Hasan. Usai bersalaman, lalu ia duduk dalam kelompok teman laki-laki, tepat di samping Rajul dan teman yang satu lagi, yaitu Sulaiman.

“Aisya…ambil air satu buat Syarief!” suruh Ustaz sama Aisya.

Teman-teman tertawa, Aisya tersenyum dengan malu, sebenarnya ia tidak mau bangun untuk mengambil air buat Syarief, tapi terpaksa karena perintah Ustaz. Maka ia pun bangun dan mengambil segelas teh manis untuk Syarief. Ketika Aisya membawa air tersebut ke depan Syarief, membuat Syarief ingat akan kisah dulu ketika pertama melihat Aisya, yaitu ketika Aisya menghidangkan segelas air untuknya.

“Ini kak!” kata Aisya sambil menarukkan air di depan Syarief.

Lalu Aisya duduk kembali di tempatnya dalam kelompok teman-temannya. Sementara Rajul yang duduk di samping Syarief, ia berbisik kepadanya “Lihatlah Aisya sangat cantik!”

Syarief tidak melihatnya, ia hanya menundukkan kepalanya, sambil berkata dalam hatinya “Maafkan saya Jul, saya sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi sama Aisya, tapi InIfa Allah, saya akan mengkhitbahkannya”. Rajul tidak tau apa yang telah terjadi antara Syarief dan Aisya, yang ia tau Syarief dan Aisya masih berhubungan.

Setelah minum dan menikmati kue-kue lebaran, maka satu-persatu santri pulang, terutama Sulaiman, ia buru-buru, karena ia harus melanjutkan pekerjaannya selaku pembuat kopi, di salah satu warung kopi di kota. Di belakangnya diikuti juga santri-santri lain, sehingga terakhir tinggallah Syarief sendirian.

“Syarief…” Suara Abia yang memanggilnya dari ruang belakang.

“Ia.” jawab Syarief

“Ke sini dulu!”

Syarief bangun dan menuju ruang belakang, untuk memenuhi panggilan Abia, tiba-tiba

“Astagfirullah” kata-kata yang keluar dari mulut Syarief ketika memasuki pintu menuju ke belakang, karena ia hampir menabrak Aisya yang baru saja membereskan hidangan para tamu, sehingga mereka saling menatap. Aisya mengerutkan keningnya tanpa sedikitpun senyuman, seraya ia geser ke kiri untuk melanjutkan jalannya.

Syarief juga melangkah kembali untuk menjumpai Abia.

“Makan dulu!” kata Abia sama Syarief, yang sudah hadir di depan beliau.

“Baik.” kata Syarief sambil mengangguk.

Syarief pun duduk di meja makan, dan menikmati hidangan, sambil mendengar nasehat-nasehat dari Abia tentang remaja-remaja yang sudah meninggalkan Ilmu Agama. Seraya Abia berkata.

“Di zaman sekarang banyaknya dari para orang-orang yang meninggalkan belajar tentang ilmu Agama, sehingga rusaknya manusia, karena tiada Iman, Ibadah tidak diterima karena tiada ilmu, tapi kenapa orang-orang berbondong-bondong masuk ke sekolah umum, jika ilmu Agama belum cukup!”

“Syarief dulu belajar di mana?” Tanya Ummi, Istri Abia yang sedang menghidangkan air buat Syarief.

“Di Samalanga Ummi” jawab Syarief.

“Sudah lama?” tanya Ummi lagi.

“Tidak, cuma 5 tahun!”

Selesai makan, dan mendengar nasehat dari Abia, maka Syarief berpamitan kepada Abia seraya mencium tangannya, dan keluar dari rumah Abia,

Sampai di luar ia berkata dengan yakin “benar kata Abia, Aisya harus ke pesantren”. Lalu Syarief pun pulang dengan hatinya yang semangat untuk terus mendo’akan Aisya supaya masuk ke pesantren.

Tiba Syarief di rumah, ia langsung menemui Rival yang baru saja pulang dari rumah Ustaznya juga.

“Tadi Kakak lihat Aisya!” kata Syarief sambil duduk di meja belajarnya.

“Terus… kakak bilang apa ?” Tanya Rival dengan penasaran, sambil duduk di mejanya dengan memasang telinga baik-baik, bersiap-siap mendengar kisah perkembangan kakaknya sama Aisya.

“Gak ngomong apa-apa, cuma lihat doank!”

Rival kecewa mendengar kata-kata itu, sambil melemahkan lehernya, karena capek-capek pasang telinga, ternyata kisahnya hanya lihat saja, walau bagi Syarief melihat Aisya saja sudah cukup bahagia.

Sementara Rival merasa sayang terhadap kakaknya, Syarief, walau telah di kecewakan oleh Aisya, tapi masih mendo’akan Aisya, masih meninggikan nama Aisya, masih menulis sepucuk surat untuk Aisya setiap malam, sedangkan Aisya tidak pernah membaca surat itu. Maka Rival pun berfikir bagaimana cara menyatukan mereka, sambil ia gigit kukunya dan matanya melirik-lirik. Lalu Rival pun bercerita.

“Oia kak, hari-hari ini banyak teman-teman yang bertanya sama Rival, “Syarief sama Aisya gak pernah pacaran ya?”, lalu Rival jawab, “Gak tau!”. Jadi sebenarnya hubungan kakak sama Aisya, itu apa sih?”

“Ia, sebenarnya kakak tidak pacaran sama Aisya!” jawab Syarief dengan senyum bangga, karena bisa menahan kata-kata pacaran kepada wanita yang ia cintai.

“Tapi kenapa kak? padahal waktu itu Aisya sangat mencitai kakak!”

“Bagini Val, Rival masih ingat? ketika Aisya menggoreskan tangan kakak, terus Aisya menyuruh kakak untuk membalasnya, tapi kakak bilang sama Aisya, kalau kakak gak butuh balasan, tapi kakak hanya menginginkan Aisya untuk kakak, terus Aisya pun menjawab, “Mintalah kepada orang tua Aisya kak!”, dari kata-kata itu dapat menunjukkan bahwa Aisya wanita yang mempunyai harga diri yang mahal, jadi  kalau kakak pacari Aisya waktu itu, maka sama dengan kakak sudah menghilang sejuta hargadiri Aisya, dan kalau kakak memacari Aisya pada waktu itu, maka hari ini Aisya bukan cinta di hati kakak, tapi hanya sebatas sampah yang berterbangan di pinggir jalan.”

“Rival harus ingat, lelaki yang mulia, adalah lelaki yang memuliakan wanita, bukan mereka yang memacari wanita” sambung Syarief.

“Tapi… orang-orangkan gak tau maksud hati kakak? yang orang tau, kakak sama Aisya gak pacaran.”

“Kenapa orang harus tau, yang penting Aisya tau kalau kakak mencintainya!”

“Bukan begitu maksud Rival, begini kakak, ketika orang tau kalau kakak sama Aisya gak pacaran, otomatis orang-orang bebas mengatakan cinta kepada Aisya.”

“Ia, kakak ngerti… menurut kakak, Aisya gak mungkin lari ke lain hati, Aisya mengerti perasaan kakak, Aisya pasti ingat dengan apa yang pernah ia katakan kepada kakak, kalau ia gak pantas mencintai mereka!”

Rival yang mendengar kata-kata itu, ia mulai bingung, sehingga ia berkata, “Terserah kakak lah, jadi tindak lanjut kakak sama Aisya sekarang gimana?”

“Gak tau, sebenarnya yang kakak fikir sekarang bukan soal cinta, tapi bagaimana cara supaya Aisya bisa betah tinggal di sini, sesuai dengan amanah Bu Aini dulu sama kakak, dan bagaimana caranya supaya Aisya masuk ke pesantren yang megah, dua hal itulah Do’a kakak selama ini untuk Aisya!” kata Syarief dengan mimik wajahnya terlihat sedih dan susah.

“Eumm kakak jangan sedih, kakak tinggal minta aja sama Bu Aini, supaya Aisya masuk ke pesantren!”

“Udah, moga saja Bu Aini gak lupa!”

Rival berfikir sejenak tentang cara Syarief mencintai Aisya, yang sangat aneh, karena pikiran Rival masih layaknya pikiran remaja masa kini, kalau sama-sama cinta ya pacaran, putus, ya cari lain, untuk apa harus menyusahkan diri sendiri. Sementara Syarief, ia juga berfikir bagaimana cara memiliki cinta Aisya kembali. Tiba-tiba idenya keluar, lalu ia menepuk meja belajarnya dengan senyum semangat di wajahnya, dan berkata kepada Rival.“Oia Malam besok kita ke rumah Aisya, mau?”

Rival berfikir sejenak, sebenarnya ia mau lihat Syarief senang, karena bisa bicara sama Aisya, tapi ia takut nanti ketemu sama Bu Aini.

“Boleh, tapi Rival malu sama Bu Aini!” jawab Rival.

“Gak papa, mau ya!” bujuk Syarief,

Rival kembali berfikir, tiba-tiba, “Ya deh” jawab Rival.

“Gitulah, Yuk Shalat dulu!” kata Syarief sambil bangun bersama Rival menuju tempat wudhuk, lalu mereka Shalat, dan tidur.