Aisya menuju ruang belakang, tiba di sana, ia melihat Syarief  duduk di depan Bu Aini sedang mengunyah nasi, beserta sendok di tangan; Syarief juga melihat Aisya, sehingga mereka saling menatap dengan tatapan yang sangat mendalam, walau hanya satu detik. Lalu mereka sama-sama mengalih pandangan ke arah lain. Aisya berjalan mendekati tempat piring kotor, ia mengambil dan membawanya ke belakang untuk ia cuci.

Sementara Bu Aini yang duduk di depan Syarief, beliau dari tadi sudah menyiapkan pandangannya ke arah Syarief, untuk melihat ekspresi wajah Syarief ketika melihat Aisya, yang sudah sebulan lebih tidak pernah bertemu, sehingga beliau bisa melihat dari wajah Syarief, bahwa hati Syarief sangat mencintai Aisya dan tidak siap untuk menjauhinya, bahkan tidak bisa melupakannya, Bu Aini tau bagaimana perasaan Syarief terhadap Aisya, walau Syarief tidak pernah memberitahunya.

“Semua ini salahmu!” kata Bu Aini.

“Kenapa Bu?”

“Semakin tinggi mendaki, maka semakin sakit saat jatuh, makanya berteman boleh, tapi jangan dekat-dekat!” jawab Bu Aini, walau maksud hatinya lain, yaitu jangan terlalu mencintai seseorang, dan jangan terlalu tinggi menggantungkan harapan, takut akhirnya kecewa.

“Ia Bu” jawab Syarief, dan ia mengerti dengan kata-kata Bu Aini.

Selesai makan, Syarief membawa piring kotornya ke belakang, supaya Aisya menyucinya, hatinya berdebar, seperti troma dengan kejadian dulu ketika Aisya berkata-kata keras dengannya, bahkan kata-kata yang menyakiti hatinya. Syarief berdiri di depan Aisya, di mana Aisya sedang duduk, dan menyuci piringnya.

“Aisya!” sapa Syarief dengan lembut.

            Aisya tidak menjawab, melihat pun tidak, ia menunduk sambil menyabuni piring-piring kotor, tiba-tiba

“Syarief…” suara Bu Aini dari dalam rumah yang memanggilnya

“Ia Bu…” jawab Syarief dengan perasaan sedikit kesal, karena ia berfikir ini adalah waktu untuk berbicara dengan Aisya, tapi Bu Aini malah memanggilnya, ia tau maksud Bu Aini memanggilnya.

Syarief jongkok di depan Aisya, seraya ia berkata dengan lirih “Kakak selalu memikirkan Aisya!”

“Gak usah, saya punya Ibu yang memikirkannya!” jawab Aisya tegas.

“Syarief…” panggil Ibu kembali dari dalam.

Syarief tidak menjawab, ia ingin mengeluarkan kata-kata maaf kepada Aisya, namun ketika ia membuka mulutnya, Aisya lebih duluan berkata

“Gak usah pura-pura tuli, Ibu panggil tu…” kata Aisya dengan geram sambil melemparkan buih-buih sabun ke arah Syarief, yang menempel di baju dan wajah Syarief.

Maka Syarief pun meletakkan piring kotornya di depan Aisya, sambil menatap Aisya dengan hati yang sakit, hatinya berdo’a “Ya Allah lembutkanlah hatinya, dan ampunkan segala dosanya!” Lalu Syarief bangun dan menghapuskan buih-buih yang menempel di baju, dan mukanya, seraya ia berkata dengan bisikan.“Biar lelaki, saya juga punya hargadiri!”

Lalu Syarief melangkah masuk ke rumah dengan hati sangat sakit, karena ia tiada lagi harganya di mata Aisya. Sementara Aisya yang menyaksikan kelakuan Syarief yang sabar, dan mendengar kata-kata Syarief tadi, membuat hatinya berdetak tanda kasihan, dan iba “apa yang telah ku lakukan?” kata hati Aisya sambil menyaksikan langkah Syarief yang masuk ke rumah. Aisya mulai merasakan bahwa bencinya bertepuk sebelah tangan.

“Syarief, jangan dekati Aisya ya!” kata Bu Aini kepada Syarief yang baru saja masuk menghadapnya.

“Tapi Bu, Syarief mau bicara sama Aisya, Bu.” jawab Syarief gugup kesedihan.

“Biarkan Aisya menenangkan dirinya, takut nanti Aisya gak mau tinggal di sini lagi.”

Syarief tidak menjawab, ia langsung melangkah keluar untuk pulang, bersama Bu Aini yang mencoba mengantarnya, agar Syarief tidak merasa terusir olehnya. Syarief merasa lelah, ia bagaikan anak kecil yang merindukan bulan, terlihat dekat, tapi tak mampu untuk di gapai, seakan-akan ia sudah tersungkur di persimpangan cinta, melaju, jalannya buntu, kembali, ia tak mampu.