"Saya cinta Indonesia."

Izinkan saya kali ini mengucapkannya dengan dada semakin dipenuhi kebanggaan. Meski kalimat  tersebut mungkin terdengar biasa sebab diucapkan  anak bangsa yang lahir dan besar di tanah air. Namun berkesempatan mendengarnya diungkapkan seseorang yang dalam tubuhnya tidak mengalir darah Indonesia, bahkan belum lama mengenalnya, terasa luar biasa.

Cho Tai-young, duta besar Korea Selatan untuk Indonesia tidak ragu mengungkapkan rasa cinta terhadap Indonesia. Dalam pidato di acara resepsi Tahun Baru di Kedutaan Korea Selatan  yang mengundang masyarakat Indonesia, sang duta besar membuktikan kecintaannya.

"Saya sudah hapal 3000 kata dalam bahasa Indonesia."

Dalam pidatonya terselip beberapa kata dan kalimat bahasa Indonesia yang dilafalkan secara fasih.

"Saat ini saya juga sudah hafal 15 lagu Indonesia, dan masih mau menambah  sampai 20 lagu.”

Untuk seorang duta besar yang sibuk dengan berbagai acara penting, tentu bukan sesuatu yang mudah dilakukan jika tidak didukung kecintaan  mendalam. Tidak ada kewajiban seorang duta besar menguasai bahasa lokal.  Apalagi kedutaan Korea Selatan termasuk yang paling sibuk mengingat hubungan dagang yang tinggi—nilai investasi di Indonesia masuk dalam lima besar. Bagi Korea Selatan, Indonesia adalah salah satu sahabat penting. Seringkali menjadi prioritas pertama bagi Negeri Ginseng tersebut. Investasi luar negeri pertama Korea Selatan ditanam ke Indonesia. 

Indonesia juga menjadi negara pertama yang membeli kapal selam produksi mereka. Negara yang terkenal dengan serial Drakor  laris ini juga menjadi yang pertama bekerja sama dengan Indonesia untuk mengembangkan jet tempur.

"Saya mengagumi Indonesia."

Lelaki berkacamata tersebut dengan penuh wibawa menunjukkan hal-hal yang membuatnya takjub akan Negeri Zamrud Khatulistiwa melalui tampilan layar.

Sebuah slide menunjukkan potret kemacetan lalu lintas Ibu Kota. Sekilas tak ada yang menarik dari gambar  seorang lelaki yang tengah menyetir sambil tersenyum, dan dua pria dalam kendaraan  berbeda, sedang tertawa.

"Bukan macet  yang membuat saya kagum, tapi saya melihat bagaimana orang Indonesia masih bisa tersenyum dalam keadaan seperti ini. Di Korea, sudah pasti mereka marah-marah," ucapnya sambil secara bercanda memperagakan pengendara yang emosional menekan klakson.

Berikutnya lelaki yang mengenakan kemeja dengan motif tradisional salah satu wilayah Indonesia itu, menampilkan potret perumahan mewah yang tertutupi pohon-pohon besar.

"Ini foto dari beranda saya di kantor kedutaan.  Lihat betapa hijaunya di tengah kota. Saya tidak pernah melihat seperti ini di tempat lain."

Slide berikutnya  menampilkan aneka suku penduduk Indonesia dengan pakaian khas masing-masing.

"Di Indonesia, ada beragam suku bangsa dan bahasa, tapi mereka bersatu di bawah Pancasila dan payung Bhineka Tunggal Ika, sungguh luar biasa. Di Korea hanya terdiri dari satu bangsa, akan tetapi kini terpecah." 

Sang dubes lalu menjabarkan kekagumannya melihat pemilu yang memiliki 450 ribu lokasi pemilihan, atau 30 kali lipat dari pemilu Korea Selatan yang hanya mempunyai 15 ribu  voting booth, namun tetap berlangsung damai. 

Selanjutnya sang dubes menekankan lagi betapa beruntungnya bangsa Indonesia.

Beruntung. Sesuatu yang mudah luput  disadari anak bangsa. Sering kita merasa iri, menyaksikan pihak lain memiliki segudang kelebihan, deret keunggulan yang membuat pihak di luar kita selalu terlihat lebih mujur.

Betapa beruntungnya kita,  perasaan ini bisa saja baru menguat setelah melihat  bukti-bukti yang dipampangkan  melalui  sudut pandang orang lain.

Bagi kebanyakan rakyat, pemilu berjalan damai terasa bagai hal biasa  yang dengan  cepat terlupakan. Padahal banyak bangsa di dunia  harus berperang, mengucurkan darah ketika terjadi pergantian tampuk kepemimpinan. Pemilu damai selayaknya disyukuri dan rasa syukur menggelorakan  semangat untuk terus menjaga ketentraman di tanah air.

Untuk sebagian besar kita, suasana damai dalam keberagaman barangkali terkesan lumrah. Di luar sana, bukan satu dua negara yang  terus bertikai hanya karena perbedaan agama, berlainan suku dan keturunan. Suasana damai sejatinya kita syukuri dan jaga terus. Alhamdulillah, umat Islam yang menjadi mayoritas di Indonesia menyadari fungsinya sebagai rahmatan lil alamin, penyejuk bagi semua.

Menatap deretan pohon yang tumbuh rindang, mungkin bukan pemandangan istimewa. Padahal di negara-negara tandus, pemerintah dan rakyatnya  harus bekerja keras membuat tanah menjadi subur dengan biaya begitu mahal. Syukuri dengan menjaga kelestarian alam. Membakar hutan, membuang sampah sembarangan, pemborosan sumber daya dan energi, adalah bentuk sikap yang tidak menghargai karunia Allah untuk Indonesia

Dari Korea Selatan, bangsa Indonesia bisa  belajar banyak. Belajar jujur, menjauhi korupsi,  bekerja keras, bangkit dari keterpurukan setelah krisis, dan membangun diri menjadi negara industri yang tumbuh mencengangkan tanpa kehilangan sikap santun.

Uniknya meski sudah memiliki banyak pencapaian  ternyata mereka pun masih bisa menemukan ruang belajar dari Indonesia.

Jika kita pribadi mampu melihat kelebihan suatu bangsa dan dengan rendah hati bersedia terus belajar, bukan mustahil Indonesia menjadi bangsa yang besar. Tinggal mengkonkretkan lagi langkah-langkah ke sana. Yang jelas, di mata saya, dan banyak rakyat,  tanah merah putih ini punya segala syarat untuk menjadi negara hebat.