MEDAN- Maimun, Pria ramah pengoleksi cincin batu ini mengisahkan bagaimana mulanya ia berjuang hingga akhirnya sukses menjadi pengusaha sate Matang di Medan. Kini ia juga sedang berencana  akan memasarkan bisnis satenya dengan konsep bisnis opportunity. “Saya lihat potensi pasar sate Matang ini  besar, tidak jauh beda dengan mie Aceh. Selanjutnya mengontrol produk dan bumbu pun lebih mudah. Saya sudah membuat  SOP (Standar, Operasional, Prosedur). Jadi rasanya tidak akan berubah ubah,”paparnya.

Dengan begitu bisnisnya gampang didelegasikan. “Saya tidak selalu harus turun ke dapur . resep saya yang kendalikan. Selanjutnya dikerjakan karyawan. Makanya saya yakin sate ini gampang dikembangkan,”ucap ayah dua anak ini penuh keyakinan.

Baca :

Kisah Sukses Sate Matang Cek Mun
Delegasikan ke Karyawan Agar Tidak Bakar Sate Seumur Hidup, Pegang SOPnya dan Trik Promosi Cerdas

Pemilik Sate Matang Cek Mun
Jadi Jutawan Sate Matang Bermodal Rp500 Ribu, Begini Kisahnya

Tapi sebelum kesuksesan berada di pihaknya, ia juga pernah merasa luntang lantung ketika memutuskan hijrah ke Medan. “Saya merantau ke Medan tahun 2001, datang hanya dengan bawa baju satu potong dan tidak ada modal,”kenangnya.

Sampai di Medan bingung mau kerja apa. Dalam masa yang terobang ambing itu, Cek Mun teringat kembali dengan usaha sate Matang yang dijalani bersama pamannya Yusuf  di Matang Geulumpang Dua sejak dirinya masa kanak kanak hingga remaja. “20 tahun saya berjualan sate bersama Cek saja (paman),”ungkapnya.

“Saya pikir ketrampilan membuat sate itu akan menjadi modal bagi saya untuk bertahan di kota Medan. Akhirnya saya diberi modal oleh teman, saya pun langsung coba. Eh rupanya kata teman rasa enak dan cocok di lidah,”ucapnya.

Cek Mun pun akhirnya memutuskan berjualan sate dengan modal pertama Rp500 Ribu. “Saya bayar sewa lapak harian.” Mulanya ia berjualan di wilayah Pondok Kelapa yang merupakan sentralnya masyarakat Aceh, karena di tempat itu memiliki stasion bus yang menuju Aceh. “Mulanya saya pilih di wilayah situ karena sate Matang memang terkenal di Aceh, saya tidak perlu pening masalah  promosi, karena saya menjual makanan yang memang sudah populer bagi masyarakat Aceh,”ucapnya.

Tidak enak tidak usah bayar
Seiring waktu bisnisnya pun terus berkembang. Ia berhasrat besar agar satenya popular di tengah masyarakat luas. Cek Mun mengambil langkah yang cukup berani. “Saya perlebar promosi. Setiap ada pemeran saya usahakan untuk ikut. Akhirnya pelan pelan sate Matang saya semakin dikenal,”ucapnya.

Selain itu, pria ini tidak ingin sate nya dianggap produk yang eklusif di tengah tengah pasar. Cek Mun berharap semua kalangan bisa menikmati sate yang dimilikinya. Salah satu strategi yang cukup efektif adalah membuat paket mulai dari paket kecil, yakni dengan uang sepuluh ribu rupiah pun bisa bersantap sate matang, hingga paket middle up, yakni paket Rp35 ribu. “Jika porsi kecil ini, satenya saya kasih 2 tusuk, selanjut jika paket 35 ribu, satenya ada 15 tusuk selanjutnya sotonya juga ada daging nya. Ini adalah paket puas,”paparnya lagi.

Tentang kemasan promosi ini, Cek Mun mengemaskan dengan cara yang kreatif. Paket 35 ribu rupiah disebut paket pengusaha karena otomatis pembelinya adalah kalangan berduet. Sementara orang yang memiliki kemampuan kantong biasa biasa saja, bisa memilih paket mahasiswa yang harga jualnya 15 ribu rupiah.

Strateginya lumayan efektif, setidaknya turut menjaring orang yang baru ‘belajar’ menikmati sate Matang. “Ada orang yang tidak berani beli karena belum pernah merasakan. Karena harga murah,mereka beli. Eh setelah coba jadi ketagihan,”ujarnya.

Tindakan berani lainnya yang dilakukannya adalah :Jika tidak enak, tidak usah bayar. “Saya berani karena memang sudah punya standar mutu. Daging yang segar, kualitas bumbu yang bagus. Bagaimana bisa tidak enak,”ucapnya sambil tertawa.(Tamat)