JAKARTA - DPR mewacanakan penerapan e-voting pada Pemilu 2019.
Hal itu disampaikan Ketua Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-undang (RUU) Pemilu Lukman Edy seusai rapat bersama Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Rabu (11/1/2017). Wacana ini berkaca pada kesuksesan beberapa daerah yang telah menyelenggarakan pemilihan kepala desa dengan menggunakan e-voting.

"Bangsa ini harus maju stau langkah, faktanya masyarakat kita siap dilihat dari 2009 sampai 2015. Contoh kasus pilkades bukan hanya di Jawa, di Bualemo (Gorontalo) misalnya," kata Lukman.

Luasnya geografis Indonesia, kata Lukman, menjadikan e-voting relevan digunakan dalam pemilu.

Ia menyebutkan, akan ada tiga opsi terkait e-voting, yakni menerapkan e-voting pada seluruh daerah, menolak penggunaan e-voting, atau menerapkan di beberapa daerah tertentu yang dianggap siap.

Namun, Direktur Eksekutuf Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai ide tersebut dirasa tak relevan dengan kondisi di Indonesia. 

Menurut Titi, penggunaan e-voting di negara lain karena adanya kecurangan dalam proses pemungutan suara.

"Semestinya setiap usulan sistem itu berasal dari kebutuhan, harus dicari tahu terlebih dahulu kira-kira di mana letak kecurangan dalam proses pemilu. Apakah di pencoblosannya atau di penghitungannya," kata Titi, saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (12/1/2017). 

Melihat kondisi Indonesia, Titi mengatakan, justru para pakar pemilu internasional seperti Andrew Reynolds menyatakan sistem pemungutan suara yang konvensional di Indonesia merupakan yang paling transparan di dunia.

Oleh karena itu, ia menilai, usulan Pansus untuk menerapkan e-voting pada Pemilu 2019 tidak relevan  tepat karena kecurangan pada pemilu Indonesia cenderung terjadi pada proses rekapitulasi dan penghitungan suara.

Biasanya, kerap terjadi penggelembungan suara.

Titi berpendapat, lebih baik Pansus menerapkan e-counting ketimbang e-voting untuk memutus mata rantai kecurangan dalam pemilu.

"Saya kira e-counting lebih dibutuhkan daripada e-voting. Pansus bisa memulai mengkaji penerapan e-counting apakah bisa dilakukan di TPS (Tempat Pemungutan Suara) atau di level yang lebih atas, itu bisa didalami lagi," lanjut Titi.

Sementara itu, pengamat pemilu Ramlan Surbakti menilai, penggunaan teknologi Informasi dalam pemilu seharusnya betujuan untuk meningkatkan kualitas pelaksanaan pemilu.

"Sehingga alasan penggunaan teknologi informasi dalam pemilu seperti e-voting bukan karena infrastrukturnya sudah siap. Kalau infrastruktur siap dan dilaksanakan dan lantas merusak kualitas pelaksanaan pemilu jadinya percuma," kata Ramlan, saat dihubungi, Kamis (12/1/2017) malam.

Ramlan menyebutkan, pada intinya, ada tiga jenis penerapan teknologi informasi dalam pemilu yakni pemungutan suara elektronik (e-voting), penghitungan suara elektronik (e-counting), dan rekapitulasi suara elektronik.

Jika sejak awal suatu negara telah memutuskan menggunakan e-voting, maka proses ke depannya pasti menggunakan e-counting dan rekapitulasi elektronik.

Begitu pula ketika memilih e-counting, proses rekapitulasinya pasti menggunakan sistem elektronik juga.

Ramlan mengatakan, ketika memilih di antara ketiga teknologi tersebut, harus dikaji pada titik mana kelemahan pelaksanaan pemilu.

Di Indonesia, kata Ramlan, proses pemungutan dan penghitungan suara yang menggunakan sistem konvensional justru iakui sebagai yang terbaik di dunia.

"Di Indonesia justru pemungutan dan penghitungan suaranya masih manual disebut the best practice in the world, itu tiada duanya di dunia," ujar Ramlan.

Ia mengatakan, proses pemungutan suara di Indonesia benar-benar dilakukan secara rahasia.

Begitu pula dalam proses penghitungan yang tak hanya disaksikan panitia pemungutan suara, tetapi juga saksi dari masyarakat.

Sementara, di banyak negara, seusai pemungutan, surat suara dibawa ke suatu tempat, lantas hanya dihitung oleh penyelenggara pemilu tanpa melibatkan masyarakat.

"Karena itu menurut saya, kita enggak perlu pakai e-voting atau e-counting karena terbukti yang terbaik kualitasnya. Justru yang lebih dibutuhkan adalah rekapitulasi elektronik sebab di situ yang kerap terjadi kecurangan berupa penggelembungan suara," papar Ramlan.

Indonesia, kata Ramlan, dikenal sebagai negara dengan proses rekapitulasi penghitungan suara terpanjang di dunia.

"Di negara lain rekapitulasi hanya dilakukan di satu tempat lantas data langsung dimasukan semua. Di Indonesia kan bertingkat-tingkat. Untuk pemilihan anggota DPR saja sampai lima tingkat. Di tiap tingkat itulah rawan terjadi penggelembungan atau jual beli suara," ujar Ramlan.

"Semestinya data dari TPS bisa langsung dimasukkan ke komputer atau dibawa ke satu tempat tertentu lalu dimasukkan secara bersama ke komputer sehingga memotong mata rantai kecurangan," lanjut dia.