JAKARTA - Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) masih terus mengejar kewajiban pajak dari Google Asia Pacific Pte Ltd. Sekarang proses pemeriksaan tengah berlangsung pasca Google menolak pembayaran tagihan yang diajukan Ditjen Pajak. Bila merunut kepada aktivitas bisnis yang dijalankan Google, maka akan terlihat kerugian besar yang diterima Indonesia.

Tidak menjadi Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia, maka Google juga tidak memungut pajak pertambahan nilai (PPN) dari perusahaan atau siapa saja yang menggunakan jasanya untuk beriklan. Jadi mereka yang beriklan di Google tidak membayar pajak, seperti bila mereka beriklan di media lain di dalam negeri.

"Karena tidak menjadi BUT, maka perusahaan yang menggunakan jasa Google tidak dipungut PPN," ungkap Kepala Kantor Wilayah Pajak Khusus Ditjen. Pajak, M Haniv, kepada detikFinance, Rabu (11/1/2016).

Padahal seharusnya Google adalah BUT yang bisa dikenakan pajak sesuai ketentuan yang berlaku, karena menarik penghasilan dari wilayah Indonesia. Google juga berkewajiban memungut PPN dari wajib pajak yang menggunakan jasa Google, kemudian disetorkan kepada pemerintah Indonesia.

"Karena tidak BUT maka itu yang menyebabkan PPN tidak terpotong. Kalau BUT kan harus potong PPN," paparnya.

Penolakan Google sebagai BUT dilandasi dengan aktivitas bisnis yang berjalan tidak bersifat faktual, melainkan online. Baik dalam mencapai kesepakatakan kontrak maupun pembayaran atas penggunaan jasa.

"Mereka punya server di Indonesia, itu sebenarnya harusnya BUT. Tapi dia kan alasannya karena transaksi online, kontrak online jadi kenapa harus BUT," terang Haniv.