Besok harinya dalam suasana hari terasa panas, Syarief hendak menemui Aisya, karena ia berfikir, walau ia harus menjauhi Aisya, tapi sekurang-kurangnya Aisya tidak pergi jauh dari hatinya. Maka ia pun masuk ke rumah Aisya, sedangkan Aisya melihat Syarief yang baru saja masuk, membuatnya semakin benci, apa lagi ia tidak tahan dengan anggapan teman-temannya.

“Bagaimana dengan hubungan kita?” Tanya Syarief sambil duduk.

Aisya pun duduk, ia mencoba menjawab pertanyaan Syarief dengan suara tegas, “Kakak sadar ngak? Kalau semua ini salah kakak, kakak egois, kakak selalu mengatur Aisya untuk menjadi orang baik, Aisya gak boleh ini, gak boleh itu, tapi Aisya cuma minta kakak untuk sedikit menjauh, kenapa kakak gak dengar? kenapa? kakak pikir yang kita lakukan selama ini, itu benar? Tidak kak, kita sudah melakukan hal yang salah, dan lebih baik sekarang kakak pergi!” kata Aisya tegas sambil menunjukkan pintu yang terbuka di depan mereka.

Sementara Syarief yang mendengar kata-kata itu, ia hanya bisa menundukkan kepalanya. Lalu  Aisya pun bangun, dan mengambil semua buku Syarief di rak bukunya, lalu ia mencampakkannya di depan Syarief.

“Ambil! semua itu buku kakak.” kata Aisya tegas.

Syarief yang menyaksikan bukunya tercampak di depan mata, ia merasa tidak dihargai oleh Aisya, karena buku itu yang mengajari Aisya menulis bahasa Arab yang bagus atas bimbingan tangan Syarief, tapi setelah Aisya bisa menulis dengan bagus, ia kembalikan dengan tidak hormat. Sehingga kelembutan Syarief hilang, maka ia pun bangun, dan mendekati Aisya.

“Kalau tidak butuh lagi, bakar aja semuanya!” kata Syarief dengan keras, sambil tangan terangkat yang siap menampar Aisya dengan keras, tiba-tiba di pikirannya teringat kembali akan amanah dari Bu Aini, supaya Aisya bisa betah tinggal di sini. Maka ia pun mundur dan terduduk takut, ia takut kalau Bu Aini tau bahwa ia baru saja memarahi keponakannya.

Aisya hanya diam dengan tenang, karena ia yakin kalau Syarief tidak berani melukainya. Sementara Syarief, ia duduk dengan resah, sambil memegang kepalanya, karena bimbang  harus berjalan ke mana, jika memilih amanah, tentu harus menahan sakit ditinggalkan Aisya dengan cara tidak hormat, dan tidak terhargai, jika ia mengikuti kata hati yang penuh amarah, hati memang puas, tapi Aisya tetap pergi juga. Akhirnya ia memilih untuk mengikuti amanah dari Bu Aini, biar saja sakit yang penting amanah terjalani, karena kepercayaan lebih mahal dari cinta, apa lagi cinta manusia yang tak pernah kekal selamanya. Sehingga ia harus memperlakukan Aisya seperti seorang putri raja, yang tidak boleh kena tanah, walau sebutir debu. Lalu Syarief berkata kepada Aisya dengan lemah lembut.

“Kakak masih mencintai Aisya, untuk kakak lupakan Aisya tidak semudah membalik telapak tangan!”

“Tidak usah! cari ja yang lain, anggap saja tidak pernah kenal, mudahkan?” kata Aisya dengan tegas.

Syarief tidak menjawab, ia takut akan mendapat jawaban yang lebih sakit lagi, dan akan memarahi Aisya kembali, maka ia pun bangun dan berpaling untuk pulang, dengan membawa segunung kekecewaan sambil hatinya berkata.

“Aisya… kenapa engkau melupakan tanganmu yang telah menggoreskan tanganku dengan pisau, kenapa engkau melupakan tanganmu yang lembut, yang telah menyuapkan aku sesuap nasi, kenapa engkau melupakan tanganku yang membimbing tanganmu menulis bahasa Arab yang bagus, kenapa engkau bisa melupakan, perjuangan-perjuanganku untuk membuatmu tersenyum  ketika engkau menangis di desaku, kenapa engkau melupakan suaraku yang mulia ketika aku menasehatimu”

Sementara Bu Aini di tempat mengajar sedang menunggu Syarief dan Aisya, karena anak-anak mereka terlantar tanpa mereka, tiba-tiba Beliau melihat Syarief keluar dari rumahnya, hati Bu Aini sangat terhentak, karena beliau tau bahwa Syarief baru saja menemui Aisya, beliau juga kesal, karena tadi sudah mencari Syarief ke mana-mana, tapi ternyata Syarief sedang berada di rumah beliau sendiri. Maka Bu Aini pun terduduk, dengan perasaan yang sangat kecewa kepada Syarief.

“Itu Syarief, panggillah!” suruh Bu Aini kepada Ustazah Eliana.

Ustazah Eliana langsung menoleh ke arah Syarief, dan memanggilnya, “Syarief... anak-anak mu ini!”

Syarief menoleh ke arah Ustazah Eliana yang memanggilnya, namun ia hanya mengangguk kepalanya, matanya bergetar, seperti hendak menangis, lalu ia memalingkan wajahnya dan memilih untuk pulang, karena ia tidak mungkin menangis di depan anak-anaknya.

Dalam perjalanan ia melihat cincin Aisya yang masih melingkar di jemarinya, membuat api di hatinya semakin membara membakar seluruh hati, amarahnya memuncak, maka ia pun lepaskan cincin tersebut dengan geram, lalu ia arahkan ke sawah, yang terbentang luas di samping jalan, lalu ia melemparkannya jauh-jauh, seakan-akan ia ingin membuang cinta Aisya jauh-jauh yang hanya bisa menyiksanya.

Sesampai ia di rumah, bergegas ia masuk ke kamarnya menutup pintu dengan hentakan kuat, dan tidur. Sementara ummi di belakang sedang masak, beliau mendengar hentakan pintu, ummi yakin itu Syarief, seraya beliau dekati kamar Syarief dan berkata.

“Di cari Bu Aini! anak-anakmu tidak ada yang ngajar.” suara ummi terdengar di luar kamar.

Namun Syarief tidak menghiraukan kata-kata itu, ia sibuk dengan tangisannya, karena harus merelakan dan mengikuti kata hati Aisya, yang tak lagi menyayanginya, dan menghargainya.

***

Aisya mengambil semua buku yang pernah ia tulis bersama Syarief, dan membawanya ke belakang rumah bersama korek di tangan kirinya, dengan hati penuh dengan kekecewaan, karena dulu ia mengira Syarief adalah tempat ia berteduh, tapi ternyata kehadirannya membuatnya semakin sakit, karena dipermalukan oleh teman-temannya, ia sangat menyesal telah mengenal laki-laki yang bernama Syarief.

Kemudian satu lembaran demi satu lembaran ia cabut, dan membakarnya satu persatu, tiba-tiba air matanya keluar karena perih di hatinya, ketika melihat di setiap lembaran buku tersebut masih ada tulisan Syarief, yang dulu baginya terlihat sangat indah, tapi kini keindahan itu telah memudar, bahkan sudah jadi paling jelek baginya, apa lagi di setiap sudut lembaran tersebut masih tertulis, “Syarief & Aisya,” sehingga membuat hatinya sangat-sangat sakit, ia gigit giginya dengan geram, dan penuh keyakinan bahwa lelaki itu harus dilupakan.

Akhirnya Selesailah segalanya, buku-buku yang ia banggakan, sudah berubah menjadi debu, cinta yang ia agungkan, sudah berubah menjadi benci, lelaki yang ia dambakan, sudah berubah menjadi musuh. Kemudian  ia hapus air matanya dan masuk ke rumahnya.