Setelah ia mengajar, ia langsung pulang bersama kitab di tangannya tanpa menunggu Aisya lagi, sementara Rival dari tadi menunggu Syarief pulang, untuk mempertanyakan masalahnya sama Aisya. Syarief pun tiba di rumah, karena ia melihat Rival lagi duduk di luar, maka ia pun duduk di sampingnya.

“Bagaimana keadaan Aisya?” tanya Rival.

“Ia, dia baik-baik saja!”

“Terus... sudah dapat alasan dari Aisya?”

“Sudah, ternyata hubungan kami dalam darurat!”

“Kenapa?”

“Karena hubungan kami sudah jadi bahan bicara teman-teman Aisya di sekolahnya, sehingga Aisya selaku wanita yang dikenal dengan sosok wanita yang baik, ia malu, namanya menjadi jelek di mata orang-orang, makanya ia menjauh, dan memilih untuk pergi dari kakak.”

Mendengar kata-kata itu, wajah Rival terlihat marah, sambil ia genggamkan jemarinya.

“Ini pasti olah Rozi?” kata Rival marah.

“Ia, kakak tau, tapi biarkan saja!”

“Oooo Rozi, Aku harus membuat perhitungan dengannya!” ujar Rival dengan sangat marah. Lalu ia bangun hendak mencari Rozi.

“Mau ke mana?” tanya Syarief.

“Aku harus menemui Rozi!” jawab Rival sambil menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Syarief.

“Untuk apa?”

Rival tidak menjawab, ia langsung melangkahkan kakinya untuk menemui Rozi, lalu Syarief pun bangun dan mengejar Rival, ia menahan Rival untuk tidak menemui Rozi, seraya ia genggam tangan Rival kuat-kuat.

“Untuk apa temui Rozi?” tanya Syarief.

“Lepas kak! sekarang urusan kakak sama Aisya, urusan Rival juga.” jawabnya marah.

“Ia, tapi Rival gak boleh emosi, dengar dulu kata kakak” kata Syarief mendinginkan emosi Rival.

Rival pun dengan lembut, ia kembali ke tempat duduknya, ia bertanya dengan kasar.

“Yasudah sekarang apa yang harus Rival dengar?”

“Tugas kita sekarang bukan membuat perhitungan dengan Rozi, karena semua ini memang bukan salah Rozi, tapi salah kami berdua, walau kini terpaksa kakak yang harus bertanggung jawab, kakak yang harus menanggung bebannya, karena kakak laki-laki, jadi tugas kita sekarang, yaitu membuat Aisya bahagia, tenang menjalani hidup di sini tanpa beban apa-apa!”

Syarief dan Rival terdiam sejenak sambil berfikir, wajah Syarief terlihat sedih, karena belum siap melepaskan Aisya begitu saja, seraya ia bangun dan berkata kembali.

“Dan satu lagi yang harus kita fikirkan, yaitu bagaimana supaya Aisya tidak mengalah!”

“Mengalah bagaimana maksudnya?” tanya Rival.

“Artinya tidak mengalah atas ujian ini, kita berusaha agar Aisya bisa terus berpegang teguh pada cinta yang pernah diucapkannya, ia tidak mengalah, walau hanya bisa berusaha dalam Do’anya, karena orang yang mengalah itu lebih buruk dari pada orang yang kalah, dan kalau Aisya kalah, otomatis kita sudah kalah, karena menang atau kalah kita sekarang ada di tangan Aisya!”

“Jadi apa yang harus kita lakukan sekarang?”

“Kita lihat dulu besok, rencana kakak, besok  kakak temui Aisya dulu untuk terakhir kalinya, dan memintanya untuk tidak pergi jauh, karena suatu saat nanti kakak akan kembali, ketika masalah ini sudah selesai!”

“Yuk kita shalat ‘Isya dulu!” sambung Syarief.

“Ia kak!”

Setelah mereka Shalat, mereka pun merebahkan tubuh mereka. Dalam tidur Syarief kembali mengingat peristiwa yang terjadi tadi sore bersama Bu Aini, ia kembali mengingat amanah Bu Aini kepadanya dulu. Ia  takut kalau Bu Aini menyangka bahwa ia pacaran sama Aisya, sehingga kepercayaannya sudah terkhianati.

“Maafkan Syarief ya Bu, Syarief tidak bermaksud mengkhianati Ibu, Syarief tidak pernah pacaran sama Aisya Bu, walau Syarief benar-benar mencintai Aisya” kata hati Syarief. Sampai Syarief pun tertidur pulas.