JAKARTA - Masyarakat yang terkenal gemar makan tempe dan tahu, menjadikan Indonesia sebagai negara konsumen kedelai terbesar kedua di dunia setelah China. Namun sayangnya, sebagian besar kebutuhan kedelai tersebut dipasok dari impor, terutama dari Amerika Serikat (AS).

Ketua Umum Gabungan Asosiasi Koperasi Tahu-Tempe Indonesia (Gakoptindo), Aip Syarifuddin, kondisi ini terjadi sebagai dampak akibat dibukanya lebar-lebar impor kedelai oleh pemerintah sejak zaman reformasi, namun di sisi lain perhatian pemerintah pada petani kedelai hampir tidak ada.

Menurut Aip, pengusaha seperti dirinya sangat kesulitan mencari kedelai lokal. Kalau pun ada, pasokannya sangat sedikit dan tidak berkelanjutan.

"Kalau ditanya susah atau nggak cari kedelai lokal, susah sekali. Beda sekali dengan impor yang stok stand by (selalu ada) terus. Sementara yang lokal ini musim-musiman. Nah Anda makan tempe kan setiap hari terus, artinya harus ada terus kedelainya," ujar Aip kepada detikFinance, Rabu (21/12/2016).

"Jadi setiap hari harus ada kedelai. Kalau bulan ini ada, bulan depannya nggak ada, repot dong. Anda nggak bisa makan tempe," imbuhnya.

Diungkapkannya, masalah harga kedelai lokal yang rendah ketimbang komoditas pangan lain, membuat petani enggan menanam kedelai.

"Kalau petani tanam kedelai satu hektar minimal hasilnya 1,2 juta ton dijual Rp 7.000/kg hasilnya Rp 8 jutaan. Beda kalau saya tanam padi hasilnya bisa 4 ton dengan harga beras Rp 7.000/kg dapat Rp 28 jutaan. Dapat Rp 8 juta dengan Rp 30 juta dari lahan satu hektar, mending saya tanam padi dong," tutur Aip.