Pernah menonton film tentang monster laba-laba seukuran manusia? Di dunia nyata, binatang raksaksa mirip laba-laba ini ternyata memang ada. Mereka aslinya tinggal di lautan Jepang. Namun, sekarang Indonesia juga punya koleksi binatang yang termasuk dalam spesies kepiting ini. Penasaran?

Sesuai namanya, Giant Japanese Crab atau kepiting laba-laba raksaksa memiliki kaki-kaki panjang menyerupai laba-laba dengan panjang tubuh maksimal 380 centimeter dan berat 20 kilogram. Mereka tinggal di laut bersuhu 18-20 derajat celsius, di kedalaman sekitar 150-300 meter.

Meskipun kakinya menyerupai laba-laba, kepiting tersebut tetap punya cangkang keras dan tampilan seperti kepiting pada umumnya. Warna tubuh pun didominasi jingga dan putih, mirip kepiting yang biasa dikonsumsi di warung makan seafood.

"Di Jepang, Giant Japanese Crab memang dikonsumsi masyarakat. Pernah, pengunjung dari Jepang berkomentar ‘delicious’ ketika melihat hewan ini," kata Kepala Bagian Operasional Seaworld, Dewi Retno Dumilah, saat ditemui Kompas.com di Seaworld, Ancol, Jakarta, pada Jumat (16/12/2016).

Dibawa langsung dari Jepang pada awal Desember 2016, kepiting ini resmi menjadi salah satu hewan perairan laut dingin yang ada di Seaworld. Masyarakat Indonesia pun dapat melihat langsung penampilan "monster" tersebut tanpa perlu jauh-jauh pergi ke Jepang.
Untuk urusan makan, lanjut Dewi, kepiting tersebut tidak terlalu pemiilh sehingga memudahkan proses perawatan. Di alam liar, mereka memang biasa memakan hampir segala macam biota laut, mulai ikan yang lebih kecil, tanaman, sampai bangkai hewan.

"Kalau di Seaworld sendiri, kami beri (makan) potongan ikan. Cuma dia ini (cara) makannya unik, makanan dijepit dengan capit dan dimakan sedikit demi sedikit. Rapi sekali makannya," tutur Dewi.

Sambil menjelaskan, dia meniru cara kepiting tersebut makan dengan kedua tangannya. Adegan itu tampak laiknya manusia yang sedang makan menggunakan sendok dan garpu.

Dalam satu akuarium yang suhu airnya sudah disesuaikan dengan habitat asli, terdapat dua ekor kepiting, jantan dan betina. Mereka terlihat “anteng” di satu sudut akuarium tanpa gerakan berarti dalam waktu cukup lama.

"Jantan dan betina bisa dibedakan dari pola cangkangnya (di bagian perut), kalau berbentuk 'U' atau lebar maka dia betina," tutur Dewi.

Bentuk cangkang kepiting betina seperti itu, lanjut Dewi, karena tugasnya menyimpan telur. Adapun pejantan, ujar dia, punya pola cangkang berbentuk segitiga panjang.

Dewi juga menyebutkan perbedaan lain, yaitu panjang capit. "Kalau betina (capitnya) lebih panjang," ucap Dewi.

Nanas juga nama ikan

Persis di samping akuarium Giant Spider Crab, tinggal pula hewan lain yang berasal dari perairan dingin Jepang. Bernama asli Pinecone Fish atau dalam bahasa latin Monocentris japonica. Di dalam negeri, ikan ini lebih dikenal dengan nama Ikan nanas.

"Kalau dilihat, sisik ikan ini kayak ada yang nonjol-nonjol tajam, mirip kulit nanas," ucap Dewi.

Selain tajam, pola sisik keras memang menyerupai kulit nanas, warnanya pun kekuningan.
Duri tajam dan sisik keras tersebut melindungi ikan berukuran rata-rata 30 centimeter ini dari predator. Perlindungan ini penting karena ikan nanas tidak punya kecepatan untuk kabur ketika terancam bahaya.

"Mungkin laut Jepang itu kan dingin dan gelap, biasanya dia hidup di antara karang. Kalau kemudian dia disergap lalu dimakan pemangsa, pasti dilepaskan lagi karena kulitnya tajam," jelas Dewi.

Untuk urusan pemeliharaan dua hewan laut tersebut, Dewi mengakui tantangan paling utama adalah menjaga suhu air tetap dingin. Jika pasokan listrik sedang tidak stabil, staf pengurus wajib gesit memeriksa mesin pendingin.

"Kami juga ada sistem jaga malam. Petugas piket bergantian cek kondisi suhu, panel, dan lain-lain. Jadi, per jam (pada malam hari) pasti ada penjagaan," kata Dewi.

Untungnya, lanjut dia, perawatan hewan-hewan tersebut termasuk mudah. Proses adaptasi ketika sampai di Indonesia pun tak memakan waktu lama, dua hari saja.

Ketika ditanya alasan mendatangkan hewan air dingin tersebut, Dewi menjelaskan Seaworld bermaksud mengedukasi masyarakat Indonesia. Maklum, perairan air dingin punya koleksi hewan laut yang berbeda dengan laut hangat seperti di Indonesia.

"Orang Indonesia tahunya kan yang tropis-tropis saja. Kami ingin memperlihatkan yang ada di dunia, tapi kami mulai dari yang dekat dulu yaitu dari Jepang," ujar Dewi.
Tak salah, Seaworld kemudian menjadi salah satu alternatif wisata edukatif bagi keluarga. Dalam kunjungan Kompas.com pun terlihat, pengunjung memang lebih didominasi orangtua yang membawa anak.

"Kebetulan lagi ada acara di Jakarta, pengen jalan-jalan tapi cari yang bermanfaat. Kebetulan juga anak saya yang gede (usia 7 tahun) suka binatang," ucap Febe, salah satu pengunjung yang datang dari Surabaya bersama suami dan dua anaknya.

Selain keluarga, kumpulan anak sekolah dasar (SD) tampak pula berkeliling melihat-lihat hewan dan mencoba wahana yang ada. Mereka datang bersama guru dan orangtua atau wali murid.

"SD kami kan jauh dari laut, mereka pikir semua ikan itu sama. Mereka juga takjub dan baru tahu kalau penyu dan kura-kura itu ternyata berbeda," kata Rita, pengajar salah satu SD negeri di Depok.

Pengetahuan tersebut diharapkan mampu memupuk rasa kecintaan terhadap kekayaan bahari, terutama bagi anak muda. Tongkat "estafet" untuk menjaga kelestarian alam tentunya perlu terus disampaikan pada generasi selanjutnya.

Belajar soal pentingnya menjaga kelestarian alam juga bisa dilakukan dari "monster", bukan?