Di malam selanjutnya, Syarief baru saja keluar dari musala bersama ma’mum lainnya, ia tidak langsung pulang, ia duduk di depan musala untuk menunggu Aisya, hanya untuk memberikan surat kepadanya. 15 menit kemudian Aisya belum juga keluar, ia mulai bosan, maka ia pun pulang, namun ketika perjalanannya tepat di depan rumah Aisya, ia melihat Aisya keluar dari rumahnya untuk belajar, maka Syarief berdiri di depannya, sementara wajah Aisya terlihat takut.

“Peganglah!” kata Syarief sambil menyodor kertas putih ke arah Aisya.

“Apa ini?” tanya Aisya dengan wajah penasaran, sambil tangannya mencoba mengambil kertas itu.

Syarief tidak menjawab, ia malah menatap Aisya dengan wajah sedih, seakan-akan ia ingin menyentuh hati Aisya dalam rindunya yang selama ini ia pendam, agar Aisya tau betapa dalam cinta Syarief untuknya.

“Kakak gak belajar?” tanya Aisya lagi dengan rasa sayang, karena melihat wajah Syarief yang kesedihan.

Syarief pun pulang tanpa menjawab pertanyaan Aisya, dengan harapan suratnya mendapat balasan yang baik. Sambil Aisya melangkah ke tempat belajarnya, maka ia pun membuka dan membacanya.

Dari : Syarief

Untuk : Aisya

Assalamu’alaikum. Wr. Wb.

Salam kakak buat Aisya, bersama cinta dan segunung rindu, kakak tidak mengerti apa yang telah berlaku? Sehingga Aisya menjauhi kakak tanpa sebab, tanpa meninggalkan alasan yang pasti. Kakak mohon penjelasannya!

Wassalam

Syarief

Sesampai di sana, Aisya duduk sendirian dan ia berfikir dengan matang, bagaimana kata-kata yang akan diaturnya untuk membalas surat tersebut, supaya Syarief bisa menerima kenyataan.

***

Sementara Syarief, tiba di rumah, ia langsung masuk ke kamarnya dan duduk di meja belajarnya sambil mendengkupkan kepalanya di atas meja.

“Kamu gak belajar nak?” tanya ummi dari luar kamar.

“Lagi kurang sehat Mi…” jawab Syarief.

Akhirnya jam sudah menunjuki jam 10 malam sudah waktunya Aisya pulang dari tempat belajarnya, Syarief yang hanya duduk di rumah, ia pun berangkat untuk menunggu Aisya, dan menunggu jawabannya. Maka ia duduk di depan pesantren, sambil sesekali ia lihat jam di tangannya. Tidak lama kemudian Aisya pun keluar dari tempat belajarnya dan Syarief pun mendekatinya seraya berkata kepadanya.

“Kenapa Aisya jauhin kakak?”

Aisya hanya diam dan berjalan dengan tak sehayun langkah dengan Syarief, Syarief berjalan di sebelah kiri jalan, Aisya pun berjalan di sebelah kanan jalan, Syarief berjalan sebelah kanan jalan, Aisya malah berjalan sebelah kiri jalan, begitulah perjalanan mereka yang berganti-ganti di tengah jalan yang berkerikil. Akhirnya perjalanan mereka  tepat di depan  rumah Aisya, Aisya pun mengeluarkan kata-katanya.

“Suratnya malam besok Aisya balas ya?”

“Jangan! katakan saja malam ini.“ paksa Syarief yang tak sabar lagi dengan sikap Aisya.

“Hubungan cinta kita cukup sampai di sini, karena seluruh dunia sudah tau kalau kita sama-sama mencintai.“

Hati Syarief terhentak, saat mendengar kata-kata itu. Maka ia pun berjalan dengan cepat dan berdiri di depan pintu gerbang supaya Aisya tidak bisa masuk.

“Salah kakak apa?” tanya Syarief tegas.

“Awas kak…” suruh Aisya lembut.

Syarief tidak menghiraukan permintaan Aisya.

“Salah kakak apa?” tanyanya lagi.

“Awas…” teriak Aisya dengan keras, sambil melotot tajam ke mata Syarief.

Akhirnya Syarief pun pindah dari depan gerbang, dan membiarkan Aisya masuk, dengan hati yang sakit karena kata-kata Aisya yang keras, padahal ia sendiri tidak pernah mengeluarkan kata-kata keras untuknya.

Dengan rasa egois Aisya membuka pintu gerbang rumahnya, ia masuk dan menguncikannya. Syarief yang berdiri di luar gerbang, ia mencoba menyaksi kelakuan Aisya yang egois, sambil tangannya menggenggam jari-jari gerbang. Aisya pun membalas tatapan Syarief, dengan mata indahnya yang berkaca-kaca, karena kini ia terpaksa harus menghancurkan hati laki-laki yang ia cintai dan mencintainya, laki-laki yang ia sayangi dan menyayanginya, yang setia menemaninya selama ini.