Genap dua minggu, Aisya di desanya, tibalah waktu di mana ia kembali lagi ke sini. Jam sudah menunjuki pukul 5 sore, tanda proses mengajar sudah selesai, para santri-santri bersalaman bersama guru mereka, yaitu Syarief dan Aisya, Syarief berasa senang, ia berfikir 1 menit lagi Aisya akan menemuinya untuk melepaskan rasa rindunya yang sudah 2 minggu tindak bertemu. Namun setelah bersalaman, Aisya langsung pulang tanpa menunggu Syarief lagi, di belakangnya Syarief memanggil Aisya. “Sya,,,,”.

Aisya tidak menoleh, seolah-olah suara itu tidak didengarnya.

“Sya…” sapa syarief kembali,

Aisya masih pura-pura tidak dengar, bahkan ia mencoba mempercepatkan langkahnya, sambil hatinya merintih “Ya Tuhan, Aisya tidak mau menjumpai lelaki itu lagi!”

Syarief menghentikan langkahnya, karena ia tidak mau memaksa Aisya menjumpainya, ia berfikir bahwa nanti malam juga sudah berjumpa di tempat belajar.

***
Namun pada malam itu, walau Aisya hadir di depannya, tapi Aisya duduk dalam kawanan teman-teman wanita yang tidak boleh didekati oleh Syarief. Sementara Syarief, ia menjaga harga dirinya untuk tidak memaksa Aisya menjumpainya, namun rindu yang menggebu, seakan-akan memaksanya untuk bertemu.

Tapi sayang, Syarief yang duduk di sudut ruang belajarnya hanya bisa memandang Aisya yang duduk di sudut lain, yang mana mereka duduk bertepatan, sehingga hatinya berkata “Aisya... tidak kah kau merindukan aku yang mana sekian lama kau pergi meninggalkan aku, ke manakah rindumu untuk tersenyum seperti dulu?”

Aisya yang duduk di sudut sana, ia tau bahwa Syarief sedang memandang dan merinduinya, sambil ia menunduk wajahnya, dalam hatinya pun berkata “Maafkan Aisya kak... Aisya gak bisa jumpai kakak lagi!”

Rajul, Mista dan teman-teman lainnya semua merasa heran, kenapa wajah Syarief dan Aisya hanya terdiam, dan duduk berjauhan, biasanya mereka selalu tertawa berdua.

“Ada apa denganmu?” tanya Rajul kepada Syarief

“Gak papa!” jawab Syarief dengan senyum paksa.

Sampai waktu pulang tiba, mereka hanya bisa memandang, Syarief yang pulang tanpa Aisya, dan hanya ditemani seribu tanda tanya “Apa yang membuat Aisya menjauh ya? Apa yang sedang terjadi?” Sampailah ia  di rumah, lalu ia shalat ‘Isya, begitu pula Aisya di sana.

Setelah selesai Shalat, Aisya masuk ke kamarnya untuk merebahkan
tubuhnya, sambil ia memandang atab-atab kamarnya, ia berfikir
bagaimana cara menyelesaikan masalah ini? Begitu pula Syarief selesai
Shalatnya, ia masuk kamarnya dan memikirkan akan sikap Aisya yang
berbeda, hatinya penuh tanda tanya, kenapa begini? kalau ada masalah,
kenapa Aisya tidak memberitauku?

***

Tiga hari kemudian, Syarief mejalani proses belajar dan mengajar dengan terasa sendirian, karena Aisya tidak lagi peduli kepadanya, walau sering berlalu lalang di depannya. Hingga sampailah di suatu malam, ia melihat jam di dinding kamarnya sudah menunjuki jam 1:00
pagi,  matanya tak mampu terpejam karena sikap Aisya yang tidak lagi peduli kepadanya, akhirnya ia duduk di meja belajarnya, mengambil buku notanya, bersama penanya, dan menuliskan sepucuk surat untuk Aisya dengan kata-kata yang sangat singkat, padat, dan jelas.