DAMASKUS - Proses evakuasi ribuan warga sipil dan pemberontak dari Aleppo, Suriah terus berlangsung. Beberapa orang merasakan kebebasan, tapi yang lain merasa seperti meninggalkan satu zona perang, hanya untuk mendatangi zona perang lainnya. 

Seperti dilansir CNN, Jumat (16/12/2016), kebanyakan dari warga sipil yang dievakuasi akan dibawa ke Provinsi Idlib yang masih dikuasai pemberontak. Anggota kelompok pemberontak yang ikut dievakuasi juga akan dibawa ke sana. Militer Rusia akan mengawal perjalanan pemberontak ke Idlib via drone

CNN menyebut, Idlib yang terletak sebelah barat daya Aleppo, kemungkinan besar akan menjadi target pasukan pemerintah Suriah selanjutnya, untuk direbut kembali. Meskipun sebelumnya Idlib telah menjadi target serangan udara pemerintah Suriah dan Rusia.

Saat perhatian dunia tertuju pada Aleppo, puluhan korban tewas juga berjatuhan di Idlib dalam beberapa minggu terakhir. Belum diketahui apakah pasukan Suriah akan melancarkan serangan darat atau menahan pemberontak tetap di dalam wilayah Idlib. 

"Keluar dari Aleppo bukan berarti lolos dari perang ... Setelah menyaksikan kekejaman serangan terhadap warga sipil di Aleppo, kami sangat khawatir bahwa pengepungan dan bom barel akan mengikuti ribuan orang yang tiba di Idlib," demikian pernyataan Komisi Penyelamatan Internasional (IRC) seperti dilansir Reuters.

Direktur Komisi Palang Merah Internasional (ICRC) di Suriah, Marianne Gasser, menyebut sekitar 3 ribu orang dan lebih dari 40 korban luka telah dievakuasi keluar dari Aleppo bagian timur pada Kamis (15/12) waktu setempat. Evakuasi dilakukan dalam dua tahap. Dilaporkan televisi nasional Suriah bahwa proses evakuasi akan berlanjut hingga malam hari dan Jumat (16/12) waktu setempat. 

Sekitar 50 ribu orang masih terperangkap di Aleppo. Beberapa orang memilih untuk melarikan diri ke wilayah yang masih dikuasai pemberontak karena takut ditangkap, disiksa dan dieksekusi mati oleh pasukan pemerintah Rusia.

Bagi mereka yang masih tinggal di Aleppo, keputusan untuk tinggal atau mengungsi menjadi pilih sulit. Salah satunya bagi Abdulkafi al-Hamdo, yang berprofesi sebagai guru bahasa Inggris dan juga aktivis. Terlebih Al-Hamdo memiliki putri yang masih berusia 9 bulan.

"Saya berpikir untuk pergi. Saya memikirkan apa yang akan terjadi jika kami tidak pergi," ucapnya.