JAKARTA - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) meminta media bijak dalam menyiarkan sidang kasus dugaan penistaan agama oleh Gubernur nonaktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Seperti dalam kasus yang menarik perhatian publik lainnya, sejumlah media berencana menyiarkan sidang ini.

"AJI meminta media untuk bijak dalam menyiarkan sidang kasus bernuansa SARA mengingat dampak kasus ini sangat besar," kata Ketua Umum AJI, Suwarjono, dalam keterangan tertulisnya, Senin (12/12/2016).

Menurut Suwarjono, media memang punya kewajiban untuk menyiarkan berita sebagai bagian dari fungsinya untuk memenuhi kebutuhan publik akan informasi. Menyiarkan proses persidangan sepanjang dibolehkan pengadilan adalah bagian dari kebebasan pers. Namun Suwarjono juga mengingatkan soal tanggungjawab lainnya, yaitu menjaga kepentingan yang lebih besar.

"Karena itu penting bagi media untuk mempertimbangkan dampak positif atau negatifnya. Untuk isu SARA, saya berharap media tidak mengejar rating atau jumlah penonton, bisnis atau untuk memenuhi keinginan politik yang berperkara. Namun juga mempertimbangkan efek yang muncul akibat pemberitaan," kata dia.

Kebebasan pers kita, kata Suwarjono, dijamin oleh Konstitusi dan Undang Undang Pers. Soal ini juga dituangkan dalam preambule Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Ia menambahkan, preambule KEJ tak hanya menyatakan secara eksplisit soal kebebasan pers, tapi juga soal kewajiban pers yang lebih besar.

"Dalam mewujudkan kemerdekaan pers itu, wartawan Indonesia juga menyadari adanya kepentingan bangsa, tanggung jawab sosial, keberagaman masyarakat, dan norma-norma agama," kata dia, mengutip preambule KEJ itu. Suwarjono menyadari bahwa keputusan akhir untuk menyiarkan langsung atau tidak, sepenuhnya di tangan pengelola media penyiaran.

Ketua Bidang Penyiaran AJI Indonesia Revolusi Riza menambahkan, kasus yang menimpa Ahok ini bukan semata kasus pidana biasa. Kasus ini tergolong sensitif dan bisa membahayakan kebhinnekaan bangsa jika tak dikelola dengan tepat.

"Peran media cukup besar dalam soal ini. Siaran media yang proporsional dan sesuai KEJ diyakini akan mampu memenuhi kebutuhan publik akan informasi atas kasus itu tanpa mengorbankan kebhinnekaan bangsa ini," tambahnya.

AJI, kata Revo, meminta media untuk menjadikan kepentingan publik dan bangsa sebagai pertimbangan utama, daripada soal faktor rating atau perolehan iklan yang bisa didapatkan dari pemberitaan kasus itu.

AJI meminta media berkaca pada siaran live sidang kasus Jessica Kemala Wongso. Siaran live sejumlah media dalam kasus itu tak semata berisi siaran jalannya sidang, tapi juga diimbuhi dengan pandangan atau komentar dari pengamat dan pihak luar. Ada persidangan di luar pengadilan yang pengaruh ke publik sangat besar. Pemberitaan soal itu membuat media dikritik berat sebelah dan malah ada yang menudingnya sebagai trial by the press.

"Kita harus berkaca dan introspeksi dari kritik publik itu," tambahnya.

Revo juga mengingatkan, perilaku tak patut yang meskipun dilakukan segelintir awak media, yang menomorsatukan rating, perolehan iklan, dan cenderung mengabaikan KEJ, akan mencoreng citra pers secara keseluruhan dan mengancam kebebasan pers yang sedang coba kita pertahankan.