Pada sore harinya, Aisya sedang di rumah kawannya, yang tak jauh dari rumahnya. Ia sedang asik berbincang-bincang dengan kawannya, tiba-tiba datanglah Syarief, yang tidak sengaja menemui Aisya.
“Aisya kok di sini?” tanya Syarief.
Aisya menampilkan wajah marah, seakan-akan ia tidak mau ada Syarief di sini.
“Yuk pulang!” ajak Aisya yang terdengar tegas.
“Ia!”
“Pulang dulu ya?” kata Aisya kepada temannya.
“Ia, hati-hati tu!” jawab temannya. Syarief dan Aisya keluar dari rumah tersebut, di mana Aisya berjalan di depan, dan Syarief di belakang. Aisya memakai sandalnya, sambil menggeserkan sandal Syarief, ke bawah kursi yang terletak di depan rumah itu, Syarief sempat melihat perlakuan Aisya itu, namun ia pura-pura tidak tau. Selesai Aisya memakai sandalnya, ia berdiri sejenak, seakan-akan ia menunggu Syarief, supaya bisa pulang bersama.
Giliran Syarief yang memakai sandalnya, ia melihat ke arah Aisya. “Sandal kakak satu lagi mana?” tanya Syarief.
Aisya menggelengkan kepalanya sambil menutup mulutnya, dan menahan ketawanya. Syarief pun mengambil sandalnya di bawah kursi, yang sudah dari tadi ia tau, lalu ia memakainya. Sementara Aisya ia ketawa bebas, sambil memalingkan langkah dan berlari dengan rasa salah. Syarief mengejarnya dengan penuh canda tawa, di halaman yang luas, di bawah matahari yang sudah di ufuk barat, yang terlihat kuning dan cerah, bagaikan paduan cinta mereka yang terlihat sangat indah.
Tiba-tiba Aisya berhenti, sambil mendengkupkan kedua tangannya ke dada. “Maaf, maaf!” pinta Aisya.
“Gak papa.” jawab syarief. Aisya kelelahan, lalu ia duduk di tanah yang berumput, mulutnya masih tertawa, nafas yang tak teratur, karena capeknya berlarian.
Syarief juga duduk di sampingnya. Lalu Aisya berkata kepada Syarief, sambil menunjukkan matahari yang kuning di depan mereka, “Lihat kak, matahari itu… ia panas, bagai api yang menyala-nyala.” kata Aisya. “Ia, memangnya kenapa?” tanya Syarief, karena ia tidak mengerti dengan kata-kata Aisya, yang ternyata mempunyai makna sangat mendalam.
“Besok kita akan melawan matahari itu kak, kakak sudah siap?” tanya Aisya sambil melihat Syarief. “Kakak siap, asal Aisya selalu di samping kakak.”
“Kakak lebay” ejek Aisya sambil ketawa, Syarief juga ketawa.
“Oia, kakak ke musala kan?” tanya Aisya.
“Ia”
“Ya udah yuk pulang!” ajak Aisya sambil bangun.
“Jangan malas!” sambung Aisya dengan tegas, karena melihat Syarief masih duduk. Lalu Syarief pun bangun dengan hati yang sangat bahagia, ia mengira cintanya sudah berada di destinasinya, ia tidak mengerti makna dari kata-kata Aisya tadi, tentang matahari. Sementara Aisya, ia seakan-akan tau apa yang akan terjadi terhadap cintanya bersama Syarief, namun ia tidak tau dugaan apa yang akan terjadi.
Aisya menampilkan wajah marah, seakan-akan ia tidak mau ada Syarief di sini.
“Yuk pulang!” ajak Aisya yang terdengar tegas.
“Ia!”
“Pulang dulu ya?” kata Aisya kepada temannya.
“Ia, hati-hati tu!” jawab temannya. Syarief dan Aisya keluar dari rumah tersebut, di mana Aisya berjalan di depan, dan Syarief di belakang. Aisya memakai sandalnya, sambil menggeserkan sandal Syarief, ke bawah kursi yang terletak di depan rumah itu, Syarief sempat melihat perlakuan Aisya itu, namun ia pura-pura tidak tau. Selesai Aisya memakai sandalnya, ia berdiri sejenak, seakan-akan ia menunggu Syarief, supaya bisa pulang bersama.
Giliran Syarief yang memakai sandalnya, ia melihat ke arah Aisya. “Sandal kakak satu lagi mana?” tanya Syarief.
Aisya menggelengkan kepalanya sambil menutup mulutnya, dan menahan ketawanya. Syarief pun mengambil sandalnya di bawah kursi, yang sudah dari tadi ia tau, lalu ia memakainya. Sementara Aisya ia ketawa bebas, sambil memalingkan langkah dan berlari dengan rasa salah. Syarief mengejarnya dengan penuh canda tawa, di halaman yang luas, di bawah matahari yang sudah di ufuk barat, yang terlihat kuning dan cerah, bagaikan paduan cinta mereka yang terlihat sangat indah.
Tiba-tiba Aisya berhenti, sambil mendengkupkan kedua tangannya ke dada. “Maaf, maaf!” pinta Aisya.
“Gak papa.” jawab syarief. Aisya kelelahan, lalu ia duduk di tanah yang berumput, mulutnya masih tertawa, nafas yang tak teratur, karena capeknya berlarian.
Syarief juga duduk di sampingnya. Lalu Aisya berkata kepada Syarief, sambil menunjukkan matahari yang kuning di depan mereka, “Lihat kak, matahari itu… ia panas, bagai api yang menyala-nyala.” kata Aisya. “Ia, memangnya kenapa?” tanya Syarief, karena ia tidak mengerti dengan kata-kata Aisya, yang ternyata mempunyai makna sangat mendalam.
“Besok kita akan melawan matahari itu kak, kakak sudah siap?” tanya Aisya sambil melihat Syarief. “Kakak siap, asal Aisya selalu di samping kakak.”
“Kakak lebay” ejek Aisya sambil ketawa, Syarief juga ketawa.
“Oia, kakak ke musala kan?” tanya Aisya.
“Ia”
“Ya udah yuk pulang!” ajak Aisya sambil bangun.
“Jangan malas!” sambung Aisya dengan tegas, karena melihat Syarief masih duduk. Lalu Syarief pun bangun dengan hati yang sangat bahagia, ia mengira cintanya sudah berada di destinasinya, ia tidak mengerti makna dari kata-kata Aisya tadi, tentang matahari. Sementara Aisya, ia seakan-akan tau apa yang akan terjadi terhadap cintanya bersama Syarief, namun ia tidak tau dugaan apa yang akan terjadi.