JAKARTA - Sepak terjang perusahaan yang mengemplang pajak segera berakhir. Presiden Joko Widodo menegaskan siap mencabut izin perusahaan yang tidak patuh membayar pajak. Tak terkecuali perusahaan di sektor minyak dan gas (migas), batu bara, sawit, dan perhutanan yang merupakan bisnis primadona di Kaltim dan Kaltara.

Menurut presiden, semua negara berebut arus uang dan investasi. Caranya, menyederhanakan perizinan dan menurunkan rate pajak. Sebetulnya, sambung dia, Indonesia memiliki uang yang sangat banyak. Jumlahnya sekitar Rp 11 ribu triliun. Namun, uang tersebut disimpan di luar negeri.

“Uang kita sebenarnya banyak. Tapi, APBN kita dalam setahun hanya Rp 2 ribu triliun. Sementara kita punya Rp 11 ribuan triliun. Ngapain kita harus menarik uang negara lain, sementara negara kita punya uang sendiri,” kata Jokowi di depan 3.392 pelaku usaha di Platinum Hotel and Convention Hall, Balikpapan Utara.

Presiden secara khusus datang ke Kota Minyak untuk menyosialisasikan program pengampunan pajak kepada wajib pajak di Kalimantan. Dia meminta wajib pajak tidak menyia-nyiakan program tersebut, mengingat nilai tebusan yang diberikan terbilang rendah. Pada periode kedua yang berakhir bulan ini, tarif tebusan hanya 3 persen.

“Ini hanya soal mau atau tidak mau. Sehingga kita merasa nyaman punya uang,” tuturnya. Berkaca pada hasil pengampunan pajak periode pertama (Juli-September), presiden memiliki catatan khusus.

Kalimantan yang notabene lumbung sumber daya alam (SDA) justru penerimaan pajaknya masih rendah. Kepatuhan pajak pelaku usaha di Kalimantan kalah dengan Pulau Jawa dan Sumatera.

Hingga kemarin, wajib pajak peserta tax amnesty di Kalimantan baru 23 ribu. Dengan jumlah peserta wajib SPT (Surat Pemberitahuan Tahunan) mencapai 1,3 juta. Dari angka itu, persentasenya hanya 1,8 persen. Sementara di periode yang sama, jumlah wajib pajak peserta tax amnesty di Sumatera mencapai 85 ribu. Dengan jumlah peserta wajib SPT 3,9 juta. Persentasenya 2,1 persen.

Di Pulau Jawa, jumlah wajib pajak peserta tax amnesty sebesar 153 juta dengan jumlah peserta SPT 2,1 juta. Persentasenya 7,1 persen. Apabila di-breakdown lagi berdasarkan hasil di masing-masing provinsi di Kalimantan, Kaltim dan Kaltara kalah telak dari Kalbar. Di Kalbar, peserta wajib pajak yang ikut tax amnesty 8.400 dengan nilai tebusan Rp 486 miliar.

Sementara Kaltim di peringkat kedua, jumlah wajib pajak peserta tax amnesty 7.500. Namun nilai tebusannya yang terbesar, yaitu Rp 833 miliar. Di Kaltara, baru seribu peserta dengan nilai tebusan Rp 182 miliar. “Masih sangat kecil. Masih banyak uang yang ada di luar. Pengusaha harus percaya pada pemerintah,” ungkapnya.

Perolehan pajak di Kalimantan, khususnya di Kaltim, sebut Jokowi tidak boleh dibiarkan. Karena, pada 2018 mendatang ada keterbukaan informasi antarnegara.

Siapa pun yang menyimpan uang di Swiss dan Singapura akan diketahui. Mantan wali kota Solo dan gubernur DKI Jakarta itu menuturkan, saat ini adalah waktu yang tepat bagi wajib pajak melaporkan pajaknya kepada negara secara benar.

“Kalau dilihat angka-angkanya tadi masih rendah sekali. Pastinya masih ada potensi yang besar. Karena itulah kenapa kita memutar terus. Karena kalau sudah lewat 31 Maret 2017 (akhir periode tax amnesty), maka tiada maaf” ucapnya.

Presiden optimistis, perolehan hasil tax amnesty di Kalimantan bakal menggembirakan. Jika tidak, maka sudah ada sanksi yang disiapkan. “Pencabutan izin. Itu memungkinkan. Nanti Menteri Keuangan (Sri Mulyani) ketemu dengan Menteri ESDM (Ignasius Jonan),” kata Jokowi didampingi Sri Mulyani dan Sekkab Pramono Anung.

Mengenai dasar pencabutan izin, Sri Mulyani menuturkan, pemerintah cukup berdasarkan pada ketaatan hukum. “Kita lihat semua review-nya,” tuturnya. Dari sisi pajak, tinggal berpatokan ketidakpatuhan dan kepatuhan pembayaran pajak.

“Kalau tidak patuh. Ya kita lihat berbagai implikasi mereka. Kalau mereka ikut tax amnesty, maka mereka bisa mengoreksi segala kesalahan pajaknya. Sekarang pun bisa dicabut izinnya. Nah, kita lihat dulu sembilan bulan ini selama tax amnesty. Apakah ikut untuk mengoreksi,” kata mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu.(pjs)