Perjalanan hidup, tak seorang pun yang tahu. Hanya saja, sebagai makhluk sosial, kita dapat mengambil hikmah dan pelajaran dari apa yang dialami di kehidupan seorang anak manusia. Stigma dan diskriminasi itu, juga diharapkan tidak pernah lagi terjadi di dunia ini, khususnya bagi Orang Dengan HIV AIDS (ODHA).

Cerita ini, berawal dari kehidupan glamor seorang anak manusia. Tak satupun keinginan itu yang tidak terlaksana. Sebab, dengan harta yang berlimpah-ruah, apapun keinginan itu, semuanya mudah diperolah.  

Hardiman. Begitulah nama pria berusia 42 tahun itu. Dia sengaja membuka identitasnya, hanya untuk bisa berbagi cerita kepada masyarakat, bahwa seorang penderita HIV itu bisa hidup normal, bisa sehat dan tidak perlu ditakuti. Makanya, dengan cerita ini, dia berharap, stigma dan diskriminasi itu, jangan pernah lagi terjadi.

“Memang, kehidupan aku dulu liar (nakal), suka mabuk. Kalau sudah begini, aku pasti selalu mencari perempuan untuk memenuhi kebutuhan seks ku,” ujar Hardiman kepada GoSumut, Rabu (30/11/2016), membuka cerita.

Tahun itu adalah tahun 1993. Dimana di tahun itu, Hardiman mulai mengenal nikmatnya bercinta dengan banyak perempuan. Jika dihitung, dirinya pun sudah tak tahu berapa wanita yang sudah ditidurinya. 

“Waktu itu, saya dan teman kantor sedang bertugas ke luar kota untuk melakukan sesuatu pekerjaan yang diperintahkan oleh kantor kepada saya dan teman saya itu. Dan kami pun menginap di salah satu penginapan yang ternama di salah satu daerah di Sumatera Utara,” ujarnya.

Disaat hendak menyewa penginapan, teman Hardiman, sebut saja A Kiong memesan dua kamar untuk mereka. “Saya merasa dijebak saat itu. Ketika saya sedang terlelap tidur, saya tersadarkan oleh seorang perempuan yang saya tidak tahu siapa dia. Saat saya bertanya siapa yang menginzinkan masuk, perempuan itu tadi pun mengatakan bahwa teman saya itulah yang menyuruhnya,” timpalnya.

Dalam benaknya, Hardiman bertanya pada dirinya sendiri, ditiduri atau pun tidak, toh perempuan ini juga tetap mendapat bayaran. “Saat itu, saya dan perempuan itu pun melakukan hal yang tidak pantas untuk kami lakukan. Karena, waktu kejadian itu, tepat saya baru dikaruniai oleh seorang anak,” tuturnya.

Seakan sudah kecanduan, dirinya pun kerap mabuk-mabukan dan selalu berakhir dengan mencari perempuan untuk dijadikan sebagai pelampiasan setiap malamnya. 

“Kalau dulu, pertama kali melakukan ini, saya dijebak. Tapi setelah itu, dan merasa ketagihan, saya pun mencari perempuan sendiri,” akunya.

Hari berganti hari, bulan pun berganti, hingga tahun-tahun pun dilalui. Tepat di tahun 2007, Hardiman jatuh sakit. Sekujur tubuhnya panas tinggi selama tiga hari. Lalu ia pun berobat ke klinik, minum obat yang sudah diresepkan dokter, dan akhirnya ia pun sembuh. 

Namun itu tidak lama. Dua hari berlalu, penyakitnya kembali kambuh. Kali ini semakin parah. Bahkan suhu tubuhnya panas tinggi diiringi diare. 

“Nafsu makan hilang, badan menjadi kurus. Saya diperiksa dokter dan dinyatakan gejala types. Namun, ini terus berulang. Hingga dokter curiga dengan penyakit yang saya alami,” jelasnya.

Akhirnya, dokter pun menyarankan agar Hardiman dibawa ke salah satu rumah sakit yang ada di Kota Medan ini, untuk menjalani rangkaian pemeriksaan kesehatannya. “Di rumah sakit itu saya diperiksa oleh dokter, darah saya diambil tanpa melakukan konseling terlebih   dulu. Setelah diperiksa, dokter memanggil istri dan kakak saya,” ujarnya.

Tidak tahu persis apa yang dibicarakan oleh dokter kepada istri dan kakaknya itu. Hanya saja, ketika mereka keluar dari ruang dokter tersebut, kedua orang yang disayanginya menangis sesunggukan. Dengan berat hati, keduanya mengatakan, bahwa Hardiman mengidap penyakit HIV/AIDS. 

Mendengar perkataan itu, Hardiman merasakan bagaikan disambar petir di siang hari. Dirinya hanya bisa menangis dan pasrah bahwa hidupnya sudah tidak lama lagi akibat digerogoti virus HIV. 

“Hancur semua kurasakan. Hancur keluarga, dan hancur pekerjaan. Tidak lama itu, dari rumah sakit swasta, saya pun dirujuk ke RS Adam Malik. Tapi saya merasa ada stigma dan diskriminasi yang dilakukan di rumah sakit (swasta itu). Mungkin karena mereka tahu saya adalah penderita, maka tak seorang pun dari mereka yang mau mengantarkan saya. Bahkan saya harus mencari taksi sendiri ke RS Adam Malik,” timpalnya.

Saat tiba di rumah sakit milik Kementerian Kesehatan RI itu, dirinya pun mendapat pemeriksaan awal di ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD). “Kemudian, saya dirawat di Ruang Rindu A. Di satu ruangan itu, ada 25 orang yang sama mengidap HIV seperti saya. Setiap harinya pasti ada yang mati, saya takut dan hanya bisa pasrah menunggu giliran kapan saya akan dipanggil,” terangnya.

“Namun sebelum itu terjawab, saya sudah membagi-bagi tiga anak saya untuk dirawat oleh keluarga saya. Saya juga meminta kepada istri, jika dirinya ingin bercerai dengan saya, saya siap melakukannya. Tapi dia tidak mau untuk diceraikan. Dia juga siap menerima semuanya dan menganggap ini adalah sebuah cobaan yang harus dilalui,” timpalnya.

Seminggu dirawat, salah seorang pendamping penderita HIV/AIDS dari LSM MedanPlus datang kepadanya dan ingin membantu Hardiman agar bisa melewati masa-masa kritisnya itu. “Dia juga bilang kepada saya bahwa dia akan membantu saya. Dia juga bilang bahwa dirinya adalah sama seperti saya yang juga seorang penderita,” sebutnya.

Akhirnya Hardiman pun bangkit setelah banyaknya dukungan dari LSM, istri, anak dan keluarganya. “Semangat saya sudah ada saat motivasi itu diberikan. Tadinya saya menganggap umur saya tidak akan panjang. Setelah 50 hari dirawat, akhirnya saya pun sembuh dan diperbolehkan untuk pulang,” tuturnya.

Sesampainya di rumah, masyarakat yang berdomisili di lingkungan keluarganya menetap seakan risih atas kepulangan Hardiman dari rumah sakit. Bahkan, keluarganya sempat mau diusir dari kampung itu dan menganggap sakitnya itu akan membuat musibah di kampung tersebut. 

“Saya mau pindah dari kampung itu, asalkan warga di sana ada yang mau membeli rumah saya dengan harga yang sudah saya tentukan, saya pun siap. Tapi tidak ada yang mau membeli rumah itu,” jawabnya.

Hari demi hari dilewati dengan stigma yang masih dia rasakan di tengah masyarakat. Lambat laun, semua ini pun berlalu. 

“Tadinya mereka tidak mau masuk ke rumah, kini mereka sudah mau main ke rumah, makan bersama keluarga kami. Tapi ya begitu, mereka selalu menanyakan kebenaran apakah saya memang menderita AIDS. Tapi saya tidak mau mengatakannya kepada mereka, saya masih merahasiakannya hingga saat ini. Tapi begitu pun, saya merasa mereka sudah tahu keadaan saya dan mau menerima kondisi ini di kampung itu,” akunya.

Saat semua mampu dijalaninya, tapi muncul lagi babak baru. Setelah lama meninggalkan pekerjaan di salah satu perusahaan pakan ternak yang ternama di Kota Medan, dirinya ingin kembali bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. 

“Tapi apa yang saya dapatkan, setiap saya ingin bekerja, perusahaan selalu menunda-nunda saya untuk bekerja. Alasannya selalu saja ada, tapi lama-lama saya bosan dan mendesak agar saya bisa bekerja kembali. Tapi mereka memberikan saya dua pilihan, mengundurkan diri atau istirahat panjang. Ternyata mereka juga sudah tahu bahwa saya adalah penderita. Akhirnya saya pun mengundurkan diri dan semua pesangon saya dibayar,” tandasnya.

Tiga tahap sudah dirasakan oleh Hardiman akibat statusnya. Mulai dari diskriminasi di rumah sakit, stigma dari masyarakat, hingga pihak perusahaan pun juga melakukan hal yang sama kepada dirinya. 

“(Seandainya saja) waktu itu saya mendapatkan informasi jelas tentang HIV, mungkin saya tidak seperti ini,” sebut pria yang juga anggota KDS Simalungun Support, salah satu LSM HIV/AIDS itu .

Meski banyak sudah yang ia lalui, namun Hardiman ingin semua orang tahu, bahwa penderita HIV/AIDS ini, bisa sehat, dan tidak perlu mengusir penderitanya.

Makanya, saat ini Hardiman pun masih terus fokus dan aktif melakukan pendampingan terhadap ODHA, agar bisa bangkit dan hidup sehat. Kepada masyarakat, dirinya juga terus melakukan sosialisasi tentang HIV/AIDS ini, agar angka penderita bisa ditekan hingga akhirnya kasus HIV/AIDS ini tidak lagi terjadi.

Ini merupakan pengalaman yang sangat berharga dan sekaligus pembelajaran bagi kita semua. Kesetiaan kepada pasangan merupakan hal yang mendasar disamping mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam cerita ini, Hardiman berpesan, bagi penderita yang sudah tahu statusnya, agar meminum obat secara teratur. 

“Bagi yang belum tahu status, ada baiknya memeriksanya lebih lanjut, dan jika terbukti bisa segera diatasi. Kemudian, saya juga ingin menyampaikan, setialah kepada pasangan, bila yang sudah berkeluarga. Jika ada yang mau ‘jajan’ di luar, dan tidak bisa lagi untuk menahannya, baiknya gunakanlah kondom. Tapi yang perlu ditekankan di sini, setialah kepada masing-masing pasangan kita semua,” ujarnya mengakhiri.