Magrib yang barakah, para manusia masih bertasbih di atas sajadah, Syarief baru saja selesai Shalat Magrib, Ia tidak menunggu lama, lalu Ia bangun dan menuju rumah Bu Aini, yaitu seorang ibu yang sudah menganggap Syarief seperti anaknya sendiri sejak Syarief masih duduk di pangku sekolah dasar. Tiba di depan pintu rumah Bu Aini.

Assalamualaikum,” ucap Syarief

Wa’alaikum Salam,” jawab Bu Aini, seraya beliau membuka pintu rumahnya

“Yeh… Syarief, masuk!” ujar Bu Aini senang.

Syarief pun masuk, dan mencoba menghirup udara rumah Bu Aini yang terasa segar.

“Duduk lah!” suruh Bu Aini.

“Ia Bu,” jawab Syarief seraya ia duduk sambil melihat dinding rumah Aini yang sudah banyak perubahan dari yang dulu pernah ia lihat.

Sementara Bu Aini, beliau langsung menuju dapur untuk menyiapkan air buat tamunya. 

Tidak lama kemudian, Bu Aini pun kembali dengan tangan kosong, seraya beliau duduk di depan Syarief dan memandanginya dengan senang hati, bak seorang Ibu memandang anaknya sendiri.

“Kapan Pulang?” tanya Bu Aini.

“Baru tadi siang Bu,” jawab Syarief senyum.

“Terus… kenapa Pulang?”

“Syarief tidak lagi di pesantren Bu.”

Tiba-tiba Syarief melihat seorang wanita yang mengenakan sarung coklat, dengan gamis hitam polos, dan berkerudung, bak penampilan seorang gadis desa, wanita itu mendekatinya dangan membawa segelas air, dan menaruknya di depan Syarief.

“Silakan kak!” kata wanita itu sambil tersenyum.

Syarief hanya menganggukkan kepalanya sambil membalas senyuman wanita itu, dengan hati yang penasaran, sejak kapan Bu Aini punya anak perempuan?

Lalu wanita itu pun bangun dan masuk ke kamarnya. Ia duduk di ranjang, dan menyimak perkataan Syarief dan Bu Aini dengan baik.

“Itu siapa Bu?” tanya Syarief sama Bu Aini.

“Aisya, keponakan Ibu dari kampung.”

“O yaya.”

“Jadi Syarief kenapa tidak lagi di pesantren?” potong Bu Aini.

“Gak sanggup aja Bu, Ummi saja gak pernah jenguk Syarief di sana.”

“Untuk apa Ummi, Syarief kan ada Bibi yang biayai, seharusnya Syarief sama Bibi saja, itu Bisa meringankan beban Ummi di sini.”

“Gak enak Bu, saudara Syarief yang lain bisa sama Ummi, kenapa Syarief tidak?”

Aisya yang berada di dalam kamarnya, hatinya sangat tersentuh mendengar kata-kata Syarief, karena apa yang dirasakan Syarief, sama dengan apa yang dirasakannya kini, ia juga ingin pulang ke desanya, dan menjalani hidup bersama Ibu kandungnya di desa. Aisya baru tau, bahwa laki-laki yang tadi ia lihat, mempunyai cerita yang sama dengannya.

Sementara Bu Aini, hatinya juga tersentuh, karena kata-kata Syarief itu bisa menurunkan semangat bagi Aisya, seraya beliau melihat ke arah kamar Aisya, beliau tidak ingin Aisya mendengarnya. karena belakangan ini Aisya juga selalu mengeluh, ia ingin pulang ke desanya, dan ia ingin sekolah di sana, tapi Bu Aini selalu membujuknya supaya tetap tinggal di sini, agar meringankan beban Ibunya di desa.

“Syarief gak boleh begitu, itu namanya cemburu, lagian Syarief itu laki-laki, jadi harus kuat, harus berani dan jentelmen.” kata Bu Aini dengan tegas.

Syarief pun menunduk, ia mulai takut, karena nada kata-kata Bu Aini mulai naik; sementara Aisya yang berada di dalam kamar, ia tersenyum tipis sambil hatinya berkata, “Ganteng-ganteng ternyata pencemburu.”

Sementara Bu Aini, beliau merasa kesal dengan keputusan Syarief yang sudah tidak mau tinggal lagi sama bibinya, seraya hati beliau berkata, “Syarief dan Aisya ternyata sama saja, cengeng,” 

Setelah pembicaraan mereka selesai, Syarief pun pamit, dan keluar dari rumah Bu Aini untuk pulang, seraya Bu Aini menutup pintu rumahnya, lalu beliau masuk ke kamarnya. 

Sementara Aisya yang berada di dalam kamarnya, wajahnya mulai merenung, dalam suasana rumah yang mulai sunyi, yang menusuk hati untuk pulang ke desanya. Mata indahnya mulai terlihat berkaca-kaca, karna di pikirannya kini hanya ada Ibu kandungnya, dan keluarga yang sudah ia tinggalkan di desa.

Hingga jam 11 malam, Aisya pun menghapus air matanya, menghela nafasnya. Dalam hati pun mulai menumbuhkan harapan, semoga Allah mempertemukan kembali dengan laki-laki tadi, yaitu Syarief. [Penulis: Syarifuddin Kasem]