JAKARTA - Potensi yang dihasilkan kelapa sawit Indonesia memicu kekhawatiran perkebunan nabati di kawasan Eropa dan Amerika Serikat (AS). Karena itu, berbagai cara dilakukan untuk menghambat produk sawit Indonesia masuk ke pasar mereka. Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gus Dalhari Harahap mengatakan, negara-negara di Eropa dan Amerika berusaha menyingkirkan kelapa sawit Indonesia. Salah satunya dengan mengintervensi aturan Roundtable for Sustainable Palm Oil (RSPO) dan High Conservation Value (HCV).

Padahal, kata dia, Indonesia telah menerapkan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) yang wajib ke seluruh perusahaan kelapa sawit di Tanah Air.

“Kelapa sawit di Indonesia, areal lahannya kecil namun produktivitasnya tinggi, sedangkan minyak nabati lainnya itu di Eropa dan Amerika, lahannya luas tapi produktivitas rendah, bahkan sering rugi,” ujar Gus seperti dilansir Rakyat Merdeka.

Negara-negara di Eropa dan AS, kata dia, ingin harga produksi minyak kedelai maupun bunga mataharinya tetap mahal di level perdagangan global. Atau terjadi keseimbangan harga antara minyak kelapa sawit dengan kedelai dan bunga matahari.

“Jadi ini dilakukan supaya harga produksi perkebunan mereka tidak jatuh sekali. Apalagi sekarang kelapa sawit amat diminati di perdagangan global,” katanya.

Karena itulah, mereka melakukan kampanye negatif terhadap produk sawit Indonesia.

Ada saja isu yang digulirkan seperti soal lingkungan hidup, kebakaran hutan, efek rumah kaca, dan tidak berkelanjutan.

"Padahal selama ini petani kelapa sawit Indonesia tidak mengganggu alam. Perkebunan kelapa sawit amat memperhatikan keberlanjutan lingkungan,” tukasnya.

Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) Derom Bangun menilai, kepentingan asing tidak bisa dianggap remeh. Dia berharap segera dibuat regulasi untuk kepentingan nasional, supaya semuanya mendapatkan kepastian hukum, baik pelaku usaha besar maupun petani yang selama ini terkriminalisasi adanya gerakan-gerakan LSM yang selalu mendiskreditkan sawit sebagai perusak hutan.

Saat ini, kata dia, persoalan industri sawit dengan adanya pihak asing sudah makin komplek. Ditambah produksi minyak sawit mentah (crude palm oil/ CPO) nasional pada tahun lalu sudah mencapai 30 juta ton.

“Di industri ini juga banyak melibatkan banyak petani dan pengusaha. Industri ini juga mendatangkan devisa yang besar bagi negara,” ucap dia.

Menurut dia, dengan keberadaan Undang-Undang Perke­lapasawitan diharapkan semua kepentingan dapat diperhatikan. “Tidak hanya kepentingan pengusaha, tapi juga petani, industri hilirnya, pemasarannya, tata ni­aganya, pengelolaan kebunnya,” jelas Derom.(pjs)