JAKARTA - Dewan Pers telah merampungkan survei terhadap indeks kemerdekaan pers (IKP) di Indonesia tahun 2015. Hasilnya, IKP Indonesia tahun 2015 berada pada angka 62,81 atau posisi agak bebas.

Ketua Dewan Pers Yoseph Adi Prasetyo mengatakan, survei ini dilakukan di 24 provinsi yang melibatkan 99 peneliti dan 338 informan ahli lokal. Hasil wawancara dengan para informan ahli lokal tersebut kemudian diakumulasikan dengan skor yang diberikan tiga informan ahli nasional dan data-data sekunder yang dikumpulkan para peneliti.

"Angka ini sebetulnya cukup bagus, agak merdeka, tapi tidak sepenuhnya merdeka. Lain kalau angkanya 80 atau 90. Nah ini menunjukkan ada beberapa permasalahan, memang tidak buruk kemerdekaan pers di Tanah Air, tapi tidak juga baik. Posisi agak bebas ini karena ada relativitas antara kebebasan dari negara dan barangkali akses terhadap media," kata Yoseph di Kantor Dewan Pers, Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Rabu (19/10/2016).

Dari 24 provinsi, Aceh menempati posisi sebagai provinsi paling baik kebebasan persnya. Berbanding terbalik dengan Bengkulu dan Papua Barat, yang menjadi provinsi terburuk kebebasan persnya.

Nilai indeks kemerdekaan pers Aceh 72,39, Bengkulu 52,34 dan Papua Barat 52,56.

Pria yang akrab dipanggil Stanley itu mengaku tidak tahu pasti penyebab tingginya indeks kemerdekaan pers di Aceh, apakah karena transparansi pasca bencana tsunami, namun memang sepanjang 2015 Aceh menunjukkan kondisi yang baik bagi kemerdekaan pers.

"Bantuan-bantuan internasional pasca tsunami barangkali juga membuat akses wartawan lebih terbuka. Standar profesi juga jauh lebih baik. Tidak ada catatan buruk soal Aceh dibandingkan dengan Bengkulu dan Papua Barat yang terendah," tutur dia.

Masalah Kemerdekaan Pers

Stanley mengatakan, berbagai masalah memang masih ditemui. Misalnya saja, akses masyarakat terhadap informasi di media yang belum terpenuhi. Campur tangan negara, dalam hal ini berupa kriminalisasi, intimidasi dan sensor, juga menghambat kebebasan pers. Kemandirian media juga terus terganjal kepentingan politik pemiliknya.

"Banyak pimpinan media yang mendeklarasikan diri menjadi pemimpin partai politik atau berafiliasi kepada partai. Ini sangat mengganjal kemerdekaan pers. Problem ini seiring dengan profesionalisme wartawan dan kepatuhan terhadap etika pers yang masih rendah, bahkan dalam tahap yang mengkhawatirkan," tegasnya.

Berbagai kasus kekerasan yang menimpa wartawan juga dianggap menjadi penghambat kebebasan pers.

Ada sejumlah rekomendasi dari Dewan Pers untuk memperbaiki indeks kemerdekaan pers di Tanah Air. Yang paling utama, profesionalisme wartawan harus ditingkatkan. Kemudian, menuntut keseriusan pimpinan perusahaan membuka peluang dibentuknya serikat pekerja di masing-masing perusahaan media.

Perusahaan juga harus membuat panduan yang jelas, berita apa saja yang boleh tayang atau dimuat dalam sebuah media. Selain itu perlu dibentuk lembaga ombudsman internal di media, untuk mengawasi dan mengatasi konflik yang muncul.

"Memperbaiki sistem rekrutmen juga harus dilakukan. Kita mendukung peningkatan kompetensi wartawan. Narasumber berhak untuk bertanya, apakah wartawan yang akan mewawancarainya sudah memiliki kompetensi atau belum. Kalau belum kompeten, narasumber berhak menolak untuk diwawancarai,'' tegas Stanley.

Dewan Pers, sambung Stanley, juga akan mendorong adanya undang-undang yang membawahi radio dan televisi Republik Indonesia.

Dewan Pers juga mendorong dibangkitkannya kembali teknik liputan verifikasi dan investigasi. "Saat ini lebih banyak liputan talking news. Kami mencoba mendorong supaya wartawan kembali kepada jati dirinya, datang ke lokasi memeriksa, melakukan verifikasi dan validasi," pungkas Stanley.***