JAKARTA - Namanya Abdullah Delancey. Ia berasal dari Kanada. Sehari-hari, pria ini bekerja sebagai perawat di salah satu rumah sakit setempat.

Sebelum menjadi Muslim, Delancey merupakan penganut Kristen Protestan. Sejak kecil, ayah tiga orang anak ini selalu meluangkan waktu ke Gereja Pantekosta. Kebiasaannya ini ia pertahankan hingga dewasa. Ia sempat pindah ke Gereja Baptis Independen.

Sebagai penganut Kristen yang setia, Delancey selalu terlibat dalam agenda-agenda gereja. Setiap Ahad, ia menyempatkan diri memberikan ceramah untuk sekolah Minggu. Ia aktif di segala macam kegiatan gereja lainnya.

“Aku benar-benar ingin mendedikasikan diri kepada Tuhan dan berambisi menjadi menteri,” kata Delancey, seperti dilansir dari On Islam, Selasa (11/11).

Namun sebenarnya, ia juga bercita-cita menjadi pendeta. Tapi, menurutnya, dengan memegang jabatan menteri, ia dapat lebih berguna untuk gereja dan kehidupan masyarakat luas.

Karena keinginannya yang sangat kuat, ia sempat berencana mengikuti sekolah Alkitab. Namun ia berpikir, akan lebih baik jika ia mempelajari Kristen lebih mendalam, bukan hanya sebagai agama.

Ia pun mempunyai sejumlah pertanyaan yang berkaitan dengan keimanan dan doktrin agamanya. Di antaranya, mengapa Tuhan membutuhkan seorang anak dan mengapa pengorbanan manusia seperti Yesus, tertera dalam Alkitab. “Aku mempertanyakan Trinitas,” ujar Delancey.

Ia juga merenungkan pertanyaan, bagaimana semua orang yang dikatakan benar dalam Perjanjian Lama, kelak akan diselamatkan di surga. Rentetan jawaban yang ia terima dari agamawan Kristen, tak pernah memuaskan kegamangannya. Terhenti pada doktrin-doktrin teologis.

Ia menentang semua alasan yang menurutnya benar-benar melampaui pemikiran logis. Mengapa Tuhan memberi kita otak yang indah. Namun tak digunakan untuk memikirkan itu, bahkan berhenti pada satu hal yang tak masuk akal. Hanya tentang isu-isu teologis. “Agama yang aku anut dulu hanya menuntut iman. Tapi, itulah iman buta,” kata Delancey.

Ia akhirnya menyadari, selama ini ia menerima Kristen dengan iman buta. Ia sangat menyayangkan dirinya, mengapa tak pernah muncul pertanyaan seperti ini sebelumnya. Ia tak mengerti, bagaimana mungkin ia tak pernah menyadarinya sedari dulu.

Delancey mencoba mencari jawaban atas pertanyaannya dalam Alkitab. Namun tak membuahkan hasil. Ia akhirnya menyimpulkan, konsep Trinitas hanyalah sebuah mitos. Mitos bahwa Tuhan cukup kuat menyelamatkan seseorang kelak. Seketika itu ia tak lagi percaya dengan agama yang ia peluk.” Seluruh iman Kristianiku runtuh,” katanya mengenang.    

Delancey akhirnya memutuskan untuk meninggalkan gereja. Sang istri yang mengalami kegundahan yang sama, akhirnya mengikuti langkahnya. Keluarga Delancey ketika itu akhirnya tak menganut satu agama pun. Meski masih percaya adanya Tuhan. Inilah awal dari perjalanan spiritualnya.

Kondisi tersebut adalah masa-masa terberat dalam kehidupan Delancey. Selama ini yang ia tahu hanyalah Kristen, semua tentang agama ini. Namun ia merasa harus menemukan kebenaran.

Akhirnya, ia mulai mempelajari berbagai macam agama. Ia mulai membandingkan satu demi satu agama yang ia ketahui. Sampai ia mendengar Islam.

Apa itu Islam? Sejauh yang ia tahu, ia tak pernah mendengar tentang Islam atau Muslim. Di negara bagian Kanada mana pun, ia jarang mendengar orang mengucapkan Muslim. Kecuali, berita-berita buruk tentang Islam di media massa.

Bagi Delancey saat itu, Islam bukan agama yang masuk dalam pertimbangannya. Juga bukan agama yang ingin ia pelajari. Tapi, kemudian ia mencoba membaca sedikit tentang Islam. Sedikit demi sedikit, namun terus ia lakukan. Hingga ia menelaah Alquran. “Wahyu ini sebuah kebenaran yang indah,” katanya menuturkan. 

Delancey bahkan menemukan sebuah masjid. Masjid yang terdekat dari rumahnya yang berjarak sekitar 100 mil. Suatu hari, ia membawa keluarganya menuju masjid tersebut.

Selama perjalanan, ia merasa gugup, namun senang. Ia bertanya kepada dirinya sendiri, “Apakah aku diperbolehkan masuk ke dalam masjid meski aku bukan seorang Arab atau Muslim?”

Setibanya di masjid, Delancey meyakinkan dirinya, jangan takut. Ternyata ia disambut dengan sangat hangat. Baik dari imam masjid, atau jamaah yang berada di sana. Mereka semua tak seperti yang ada di pemberitaan selama ini.

Sang imam memberi Delancey sebuah buku yang ditulis oleh Ahmed Deedat. Ia sangat menghargai pemberian buku tersebut. Ia mempelajari semua materi yang tertulis dalam buku itu.

Delancey sangat terkejut setelah mempelajarinya. Ia bahkan menanyakan kepada dirinya, “Bagaimana mungkin aku menjadi seorang Kristen begitu lama. Dan sekali pun aku tak pernah mendengar tentang kebenaran?”

Bersyahadat

Akhirnya, pada 24 Maret 2006, ia kembali datang ke masjid. Tepat sebelum shalat Jumat, ia mengikrarkan dua kalimat syahadat. Dengan yakin, Delancey memutuskan memeluk Islam. Lalu, ia mulai aktif berkomunikasi dengan komunitas Muslim. Ia merasakan ketenangan yang luar biasa dan begitu mencintai agama barunya tersebut. ”Itu adalah hari terbaik dalam hidupku,” ungkapnya. 

Namun, cobaan dari Allah SWT segera datang sejak Delancey menjadi seorang Muslim. Orang-orang mulai menghindarinya. Mereka juga menertawakannya. Teman-teman Kristennya tak pernah berbicara kepadanya. Bahkan kedua orang tuanya, tak mengakui Delancey.

Namun, semua hal itu tak menjadi soal baginya. Ia suka menjadi seorang Muslim. Bahkan jika semua orang di Kanada menganggapnya aneh. Ia memang tak pernah keberatan dengan semua ini. Meski ada pertanyaan, “Mengapa kau diam saja diperlakukan seperti itu?”

Alasannya akan ia jawab sendiri kelak di hadapan Allah SWT setelah meninggal. Allah juga selalu memberinya kekuatan. Memberikan bantuan kepadanya dalam melewati masa-masa sulit. Ia sangat bersyukur dengan ini. Ditambah, ia mempunyai banyak saudara-saudara Muslim yang selalu berada di sampingnya dalam keadaan senang atau susah.

Secara hukum, Delancey mengganti nama depannya menjadi Abdullah. Nama yang sangat ia suka. Ia adalah satu-satunya Muslim yang mendapat kesempatan bekerja di rumah sakit di daerah tempat tinggalnya. “Semua berkat Allah,” katanya menambahkan.***