JAKARTA - Lazimnya, seorang jamaah haji hanya satu kali diberangkatkan ke Arab Saudi, lalu kembali ke Tanah Air setelah ibadah haji selesai. Berbeda dengan Sri Astuti (60), jamaah asal Malang, Jawa Timur, yang tergabung dalam Kloter 52 Embarkasi Surabaya (SUB 52) ini harus bolak balik dua kali ke Saudi dalam empat hari.

Berangkat haji bersama suami, Sri Astuti terbang ke Jeddah dari Surabaya pada Selasa (30/08/2016) lalu. Setibanya di Bandara Internasional King Abdul Aziz (KAAIA) Jeddah, Sri Astuti tertahan di Imigrasi karena foto yang tertera di paspornya berbeda dengan wajahnya. Sementara suaminya Tugiman bisa masuk ke Makkah, Sri Astuti dipulangkan ke Indonesia.

Selang empat hari, atas upaya Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah bersama tim KJRI, Sri Astuti bisa terbang kembali ke Saudi untuk menunaikan ibadah haji bersama suami.

Ditemui di pemondokannya di kawasan Jarwal, Sabtu (03/09), Sri Astuti sempat berbagi cerita kepada tim Media Center Haji (MCH) Kementerian Agama tentang pengalaman hidup yang baru saja dia alami, dideportasi.

“Pertama saya daftar haji di Kemenag Malang. Nama saya di surat nikah itu Astuti. Di KTP sama KK Sri Astuti. Terus saya disuruh minta keterangan surat ke desa disamakan nama Sri Astuti,” kata Sri Astuti mengawali kisah penantian panjangnya untuk bisa berhaji.

Tiba saatnya berangkat haji, Sri Astuti bersiap diri. Segala dokumen yang diperlukan disiapkan untuk keperluan pembuatan paspor dan visa. Waktu yang ditunggu-tunggu akhirnya datang. Sri Astuti bersama suami tergabung dalam SUB 52 yang berangkat pada Selasa, 30 Agustus 2016.

Sehari sebelum berangkat, Sri Astuti dan jemaah haji lainnya diinapkan di embarkasi Surabaya. Jelang keberangkatan, dia mendapatkan paspornya yang tertempel foto dirinya pada bagian muka. “(paspor) Tidak dibuka, langsung dimasukan ke tas tentengan. Tidak saya buka karena di luar ada foto saya,” tutur Sri Astuti.

Kurang lebih sembilan jam perjalanan, Sri Astuti dan kloternya tiba di Jeddah. Semua berjalan lancar, sampai saat petugas imigrasi Saudi membuka paspor dan mendapati foto yang tertera berbeda dengan wajah Sri Astuti. “Saya langsung dibawa ke kantor. Saya ditahan di situ kira-kira 3 jam,” kenangnya.

Menurutnya, ada dua petugas haji yang saat itu mendampingi dan berusaha menenangkannya, yaitu: Hasyim Hilaby dan Ahad Fadly. “Nanti ibu kalau dibawa ke mana ikut saja,” katanya menirukan pesan Mas Fadly.

Singkat cerita, Imigrasi Saudi berketetapan bahwa Sri Astuti harus dideportasi. Kaget,Sri Astuti mengaku awalnya menolak, namun tak kuasa di tengah keterbatasan kemampuan bahasa. Sampai di dekat pesawat yang akan membawanya ke Jakarta, Sri Astuti masih berusaha menolak untuk dipulangkan.

“Setelah itu, pramugari turun mengajak saya. Ayo Bu, mau berangkat pesawatnya. Saat saya jawab tidak mau ikut, pramugari itu meminta saya ikut saja. Nanti ibu dipenjara. Ibu tidak punya bukti apa-apa,” ujarnya.

Burung besi itu pun mengantar Sri Astuti kembali ke Jakarta, lalu ke Surabaya. Di Kota Pahlawan itu, Sri Astuti ditemani Eka dan Agung untuk mengurus visa di imigrasi. Dari situ, saya dijemput utusan pegawai Kementerian Agama Penny untuk menginap di asrama haji.

Dua hari berselang, terdengar kabar kalau pengurusan dokumen sudah final. Awalnya, Sri Astuti aan diberangkatkan bersama kloter 62. Hanya, Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Abdul Djamil minta agar Sri Astuti diberangkatkan pada kesempatan pertama setelah selesai seluruh persyaratan. Akhirnya, Sri Astuti diikutkan ke SUB 59, bersama rombongan asal Lumajang, menuju Saudi sebagai dluyuufur Rahman.

Kini Sri Astuti sudah kembali berkumpul dengan suami di Kota Suci. Bersama rombongan jamaah haji lainnya, Sri Astuti mulai menata diri untuk berhaji. “Saya berterima kasih kepada semuanya. Ucapan terima kasih sebanyak-banyaknya. Sudah cukup itu saja,” katanya disertai isak tangis. ***