MANILA - Perang terhadap peredaran narkotika di Filipina oleh Presiden Rodrigo Duterte  telah menewaskan sekitar 1.800 tersangka pengedar narkoba dalam tujuh minggu terakhir.
Komite Parlemen Filipina tengah melakukan penyelidikan terkait temuan tersebut. Senator Leila de Lima, khawatir dengan pembunuhan yang terjadi itu.
 
"Kami khawatir dengan pembunuhan ini dan para penegak hukum kemungkinan menggunakan operasi ini untuk melakukan pembunuhan tanpa ampun," ujar De Lima, yang memimpin penyelidikan, seperti dikutip Associated Press, Selasa (23/8/2016).
 
Salah satu saksi yang menceritakan pembunuhan ini kepada para senator mengatakan, suami dan ayah mertuanya ditangkap dan dipukuli oleh anggota polisi. Mereka kemudian dibawa ke pos polisi dan ditembak mati pada Juli lalu.
 
Kepala Polisi Ronald dela Rosa mengaku bahwa tidak ada perintah untuk membunuh tersangka.  Menurut laporan Dela Rosa, total 1.779 orang tewas sejak Duterte menjadi presiden pada 1 Juli lalu. Dari jumlah tersebut, 712 di antara terbunuh saat operasi polisi, sementara 1.067 kematian lainnya terjadi di luar operasi resmi oleh polisi.
 
"Kami tidak ada hubungan apapun pembunuhan oleh pihak tidak dikenal, saya bersumpah," tutur Kepala Polisi Dela Rosa.
 
"Kepolisian Nasional Filipina menentang pembunuhan di luar hukum. Jika ada polisi yang melanggar, dia akan diselidiki dan didakwa serta pada akhirnya dihukum," tegasnya.
 
Dela Rosa menegaskan kembali pembunuhan di luar operasi polisi, dilakukan oleh kelompok sindikat yang terlibat dalam peredaran narkoba terlarang.
 
Kepada parlemen, Dela Rosa mengatakan: "Jika saja Presiden meminta kami untuk berhenti berperang terhadap narkoba, maka kami akan mengabaikannya. Kami benar-benar lelah. Kami juga kehilangan anggota polisi, jadi jika Presiden memerintahkan kami untuk berhentik maka kami akan melakukannya".
 
Menurut Human Rights Watch (HRW), jumlah kematian akibat pembunuhan ini menunjukkan retorika penuh kekerasan dari Duterte. HRW melihat solusi di luar hukum di Filipina, telah mendapatkan dukungan.

Amerika Serikat (AS) pun menyoroti hukuman mati yang terjadi di Filipina ini. AS menilai Penegakan hukum perlu diiringi dengan kewajiban pemenuhan hak asasi manusia. 

"Kami khawatir dengan laporan tentang hukuman mati kepada pelaku narkoba di Filipina," ungkap Juru Bicara Kementerian Luar Negeri AS, Anna Richey-Allen, dikutip dari Reuters, Selasa (23/8/2016) malam.

Ia menambahkan, "Amerika serikat percaya pada aturan hukum, prinsip hukum, dan menghormati hak asasi manusia, dan ini berarti akan menodorong prinsip-prinsip untuk masa mendatang."