SAAT usianya masih 15 tahun, Ambarish Mitra melarikan diri dari rumahnya. Selanjutnya dia hidup menggelandang di Kota New Delhi, India. Namun siapa sangka, belakangan Mitra menjelma menjadi miliarder.

Mitra dibesarkan dalam keluarga sederhana di kota perminyakan Dhanbad, Jharkhand, di timur India. Pria yang kini berusia 37 tahun itu memutuskan untuk lari dari rumah, setelah dia gagal dalam pelajarannya di sekolah.

Mitra muda merasa tidak bahagia akibat ambisi ayahnya yang menginginkan dia menjadi seorang insinyur, sedangkan dia bercita-cita menjadi ahli komputer.

Suatu hari, setelah mempersiapkan rencana kabur selama berminggu-minggu, Mitra menulis sebuah surat untuk orangtuanya, memberitahukan bahwa dia keluar dari rumah.

"Aku menulis, 'aku pergi ke Mumbai', kalimat yang sering didengar di film-film. Naif memang," kata Mitra.

Alih-alih pergi ke Mumbai, pria yang saat itu berusia 15 tahun itu malah melakukan perjalanan ke New Delhi.

Di kota itu, dia hidup sebagai gelandangan, berbagi gudang yang terbuat dari tanah liat, bersama dengan beberapa orang jalanan lainnya.

Mitra melarikan diri dari rumah ke New Delhi saat masih berusia 15 tahun, dan hidup sebagai gelandangan (Ambarish Mitra/BBC) Tempat itu sangat jorok. Mitra muda harus tidur di lantai bersama dengan 6 orang gelandangan lainnya.

Pada saat pelarian dirinya, Mitra bekerja sebagai loper majalah dan pelayan restoran.

Dia lalu melihat iklan pada halaman koran, mengenai kompetisi ide bisnis dengan hadiah sebesar US$ 10 ribu atau setara dengan Rp 130 juta.

Mitra memenangkan lomba tersebut, menggagas ide internet gratis untuk perempuan yang memiliki gaji di bawah rata-rata.

Ide tersebut diinspirasi oleh apa yang dia rasakan dalam keluarganya, perbedaan antara perempuan 'tangguh' dan budaya yang berkembang di kalangan masyarakat India.

Jadi, dengan menggunakan uang hadiahnya, Mitra yang saat itu berusia 16 tahun, meluncurkan jaringan informasi khusus perempuan atau Women Infoline.

Model bisnis usahanya adalah dana yang dihasilkannya dari pembuatan iklan akan digunakan untuk menyediakan akses internet gratis.

Pada masa jayanya, sekitar 125 orang bekerja untuk Mitra. Namun, dia mengatakan usaha tersebut tidak terlalu menguntungkan dan batu loncatan yang kurang bagus.

Ide Aplikasi Blippar

Frustrasi, pria itu lalu memutuskan untuk pergi ke sebuah bar dan mulai mengonsumsi alkohol, menjadi pemabuk berat.

Namun, semuanya berubah pada satu malam di kelab di Surrey, London Selatan.

"Aku berada di tempat itu seperti biasa bersama Omar Tayeb. Putaran terakhir aku meletakkan uang di meja dan membuat lelucon mengatakan, 'bayangkan jika Ratu Elizabeth keluar dari uang kertas tersebut?' Benar-benar lelucon yang bodoh," kata Mitra.

Mendengar lelucon tersebut, Omar -- pria yang selalu dia gambarkan sebagai orang pintar berpendidikan -- membuat prototipe aplikasi dari wajah Mitra, ditempelkan di atas wajah sang ratu.

Untuk beberapa saat, Mitra menggunakan aplikasi tersebut untuk menjahili orang-orang di bar. Hingga dia sadar mereka harus membuat sebuah aplikasi yang bisa 'melihat apapun di dunia, dan memberikan konten di atasnya'.

Dari situlah akhirnya aplikasi smartphone Blippar lahir.

Bangkit dari Nol

Sekarang, 20 tahun setelah masa itu, Mitra menjadi bos besar Blippar, aplikasi smartphone senilai US$ 1,5 juta atau setara dengan Rp 19,5 miliar.

Berkembang pesat, Blippar kini memiliki 12 cabang di seluruh dunia, termasuk London, New York, San Fransisco, New Delhi, dan Singapura.

"Kami relatif besar untuk perusahaan yang masih tergolong muda," kata Mitra.

Dikutip dari BBC, Senin (1/8/2016), Blippar merupakan sebuah aplikasi augmented reality (pembesar gambar) yang digunakan untuk membantu memasarkan produk, menggunakan kamera smartphone.

Aplikasi tersebut juga bisa digunakan untuk memperbesar dan mempertajam sebuah objek, seperti apel, dilengkapi dengan informasi penting mengenai benda tersebut.

Perusahaan tersebut mendapatkan penghasilan dari bekerjasama dengan berbagai penerbitan dan perusahaan seperti Conde Nast, Jaguar, Unilever, dan Nestle.

Seperti baru-baru ini Coca-Cola bekerjasama dengan Mitra membuat iklan pemasaran produk terbatasnya, yang memungkinkan pelanggan memainkan musik bertema animasi jukebox, saat membuka aplikasi tersebut.

Aplikasi tersebut juga digunakan di 67 ribusekolah di seluruh penjuru dunia, termasuk Inggris, AS, India, dan Kanada.

Menurut seorang ahli teknologi, Chris Green, Blippar meroket di pasaran karena tidak berbelit-belit dan sederhana.

"TIdak membutuhkan perangkat keras (hardware) untuk mengoperasikan aplikasi tersebut. Bisa menggunakan smartphone. Sederhana," kata Chris.

"Aspek penting perangkat tersebut sudah ada di dalam smartphone, jadi tidak ada penghambat dalam penggunaannya," ujar ahli itu.

Selanjutnya, Mitra berencana untuk mengembangkan aplikasinya, agar dapat mengidentifikasi semua jenis benda di dunia.

Miliarder itu juga berencana untuk menjadikan aplikasi tersebut sebagai alat bantu bagi orang buta huruf, seperti menyediakan panduan suara untuk jaringan kereta api.

Baru-baru ini, saat kembali ke New Delhi untuk mengunjungi teman, Mitra berkata dia ingat betul masa dia melarikan diri saat masih belasan tahun.

"Aku berpikir, jika aku bisa bertahan, aku bisa melalui apapun. Aku mendapatkan pengalaman yang menarik, dan senang bisa hidup," kata Mitra.***