JAKARTA - Pengamat ekonomi Dradjad H Wibowo meyangsikan kembalinya Sri Mulyani Indrawati (SMI) ke posisi menteri keuangan (Menkeu) akan serta-merta memperbaiki perekonomian nasional. Dalam pandangan Dradjad, ada beberapa catatan negatif tentang kiprah Mbak Ani -sapaan Sri Mulyani- saat menjadi Menkeu di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

"Saya rasa Presiden Jokowi telah menggali lubang politik sendiri dengan menunjuk Mbak Ani. Citra Pak Jokowi masih bagus karena dinilai merakyat dan bersih. Tapi pengangkatan SMI sebagai Menkeu merusak citra merakyat beliau," ujar Dradjad melalui layanan pesan singkat, Rabu (27/7).

Dradjad menegaskan, pergantian Menkeu belum tentu menjadi solusi. Menurutnya, siklus ekonomi global memang sedang turun, sedangkan Indonesia terlalu mengandalkan komoditas. Akibatnya ketika harga komoditas anjlok, maka pertumbuhan ekonomi turun dan penerimaan pajak tidak memenuhi target.

"Secara objektif saya melihat Mas Bambang Brodjonegoro (menteri keuangan sebelumnya, red) apes saja. Tapi apakah Mbak Ani akan lebih baik dari yuniornya, saya sangsi," ulas Dradjad.

Dradjad lantas mengurai catatan negatif Mbak Ani ketika menjadi Menkeu di era SBY. Pertama adalah ketika Sri memutuskan remunerasi untuk reformasi birokrasi.

"Apakah birokrasi makin bersih? Kasus Gayus Tambunan, suap SKK Migas, KKN di lapas dan lain-lain adalah bukti bahwa reformasi birokrasi yang dimulai di DJP (Direktorat Jenderal Pajak) dan Bea Cukai tidak banyak memberi hasil, kecuali belanja pegawai membengkak drastis," kata Dradjad.

Yang kedua, SMI tidak segan-segan membebani APBN dengan bunga obligasi yang sangat tinggi. "Obligasi termahal terbit zaman SMI sebagai menteri keuangan," sambung Dradjad.

Ketiga, pada awal pemerintahan SBY saat Sri menjadi kepala Bappenas, Boediono sebagai menteri koordinator perekonomian dan Jusuf Anwar sebagai menteri keuangan, siklus ekonomi dunia membaik. Perekonomian dalam negeri pun terangkat.

"Ekonomi Indonesia di bawah trio itu memang mengalami pertumbuhan yang cepat, tapi tidak berkualitas," ujar mantan anggota komisi keuangan DPR itu.

Keempat, Indonesia di era SBY telah gagal mendiversifikasikan sumber-sumber pertumbuhan. "Sehingga sekarang Presiden Jokowi dan Mas Bambang Brodjonegoro kena getahnya," katanya.

Yang kelima adalah kasus Bank Century. Saat ini, kata Dradjad, posisi SMI dalam kasus Century memang aman secara hukum dan politik.

Namun, katanya, hal itu bukan jaminan. "Siapa tahu jika tiba-tiba dinamika politik berubah?" katanya.

Lebih lanjut Dradjad mengatakan, ideologi ekonomi SMI sebenarnya tidak cocok dengan Trisakti dan Nawacita yang menjadi jargon kampanye Presiden Jokowi. Selama ini SMI dikenal sebagai sosok yang berideologi ekonomi liberal.

"Saya hanya berharap ideologi ekonomi SMI sekarang lebih ke tengah, tidak terlalu di kanan seperti masa tugas sebelumnya. Siapa tahu orang bisa berubah lebih bijak dan berempati kepada rakyat kecil sejalan bertambahnya umur," harapnya.

Namun, Dradjad juga mengakui Sri memang disenangi pelaku pasar keuangan, terutama fund managers asing. Dengan demikian akan ada bonus pertumbuhan dari sektor keuangan dan jasa keuangan yang kemungkinkinan sedikit meluber ke sektor non-keuangan.

"Ini sisi positif SMI. Namun dana yang masuk biasanya adalah dana jangka pendek. Sehingga, selain menjadi sumber risiko instabilitas, hal ini biasanya semakin memperlebar kesenjangan, baik antar penduduk maupun antar sektor," katanya.

Lantas mengapa Sri Mulyani disebut oleh banyak kalangan meninggalkan prestasi saat menjadi Menkeu di era pemerintahan SBY? "Ketika SMI menjadi Menkeu, siklus perekonomian Indonesia memang sedang naik. Salah satu faktornya adalah naiknya kepercayaan dan ekspektasi pasar terhadap Presiden SBY," pungkas mantan wakil ketua umum Partai Amanat Nasional (PAN) itu.***