JAKARTA - Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Boy Rafli Amar menegaskan bahwa kepolisian memiliki alasan yang kuat untuk menghentikan penyidikan kasus kebakaran hutan yang melibatkan 15 perusahaan di Riau. "Kalau masyarakat merasa ada yang dirugikan, gugat saja keputusan itu. Terbuka kok, ada praperadilan. Kalau memang itu dinilai sesuatu yang tidak patut," kata Boy di Mabes Polri, Kamis (21/7/2016).

Boy mengatakan, kewenangan berlanjutnya suatu perkara atau penghentian kasus itu sepenuhnya berada di tangan penyidik.

Dalam kasus ini, penyidik dianggap telah bekerja sesuai dengan undang-undang.

Perkara dihentikan lantaran kurangnya bukti yang memberatkan bahwa sebelas perusahaan tersebut merupakan dalang di balik kebakaran hutan di Riau.

"Apakah alat bukti yang ia miliki kuat atau tidak. Semuanya menjadi ranah penilaian oleh penyidik," ujar Boy.

Menurut Boy, penghentian suatu perkara tersebut tidak dilakukan secara tiba-tiba. Penghentian berdasarkan pencermatan dari hasil penyidikan yang diambil dari bukti dan keterangan para saksi apakah ada unsur perbuatan melawan hukum.

Jika tidak terdapat unsur melawan hukum, maka suatu perkara tak bisa dipaksakan untuk berlanjut.

"Bisa saja orang yang terkena dampak kebakaran ini adalah orang yang menjadi korban. Artinya, apabila di lahan kita ada kebakaran belum tentu yang punya lahan yang membakar. Bisa jadi ada pihak-pihak lain yang belum tertangkap yang membakarnya itu," kata Boy.

Kepolisian Daerah Riau menghentikan proses penyidikan terhadap 15 perusahaan yang diduga membakar lahan dan hutan di areal konsesinya.

Penyidikan tersebut dimulai pada September-Oktober 2015 saat bencana asap menyebabkan lima orang meninggal dan lebih dari 90.000 warga Riau menderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).

Kelima belas perusahaan tersebut adalah: PT Bina Duta Laksana (HTI), PT Ruas Utama Jaya (HTI), PT Perawang Sukses Perkasa Indonesia (HTI), PT Suntara Gajah Pati (HTI), PT Dexter Perkasa Industri (HTI), PT Siak Raya Timber (HTI) dan PT Sumatera Riang Lestari (HTI). Lalu PT Bukit Raya Pelalawan (HTI), PT Hutani Sola Lestari, KUD Bina Jaya Langgam (HTI), PT Rimba Lazuardi (HTI), PT PAN United (HTI), PT Parawira (Perkebunan), PT Alam Sari Lestari (Perkebunan) dan PT Riau Jaya Utama.

Sementara SP3 kasus 15 perusahaan dilakukan Polda Riau pada Januari 2015, tiga bulan setelah penetapan tersangka korporasi.

Penghentian perkara secara diam-diam ini dikecam oleh sejumlah pemerhati lingkungan, salah satunya oleh Bambang Hero Saharjo, Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Sebagaimana dikutip dari Harian Kompas, Bambang Hero sempat diminta membantu Polda Riau menangani kasus beberapa perusahaan yang masuk SP3, yakni PT Pan United dan PT Riau Jaya Utama.

"Kami merekonstruksi hot spot. Di lapangan pun tampak pencemaran dan kerusakan akibat kebakaran," kata dia.

Untuk PT RJU, ia telah diproses berita acara pemeriksaan sebagai saksi ahli. Saat itu, semua pihak tampak bersemangat menjalankan perintah kegeraman Presiden untuk menerapkan penegakan hukum tegas bagi pelaku kebakaran.

Polda Riau sempat merilis 18 perusahaan yang ditanganinya. Ia kaget penanganan kasus berakhir SP3.

"Kami jadi ragu apa kasus akan disidik serius. Publik juga mempertanyakan pernyataan Presiden bahwa pembakar harus dihukum berat. Faktanya seperti ini," kata Bambang.

Koordinator Riau Corruption Trial Made Ali mengatakan, alasan SP3 korporasi mengecewakan.

"Kami mempertimbangkan ajukan praperadilan. Juga akan melaporkan kepada Kapolri di Jakarta," ucapnya. ***