JAKARTA - Operasi Tinambola akhirnya berhasil mengakhiri petualangan gembong kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT), Santoso alias Abu Wardah dan pengikutnya Muchtar alias Kahar. Kepala Operasi Tinombala 2016, Kombes Leo Bona Lubis menjelaskan kronologi penyergapan terhadap kelompok teroris di Tambarana, Poso Pesisir Utara, Poso, yang menewaskan Santoso dan Muchtar.

Menurut Leo, kegiatan kontak tembak yang terjadi berawal dari kegiatan operasi Tinombala yang terpusat di tiga wilayah di Gunung Biru, Tamanjeka, Poso Pesisir Utara, Poso sejak 2015.

"Kita mengerahkan 63 tim, sasaran di tiga daerah. Ada tim berperan sebagai pemburu dan tim penutup atau Alfa 29," katanya.

Dua tim yang sebelumnya melakukan operasi perburuan memaksa Santoso dan kelompoknya terpencar dan terus berupaya untuk mencari tempat baru yang lebih aman. Saat berupaya mencari tempat aman, Santoso dan kelompoknya diketahui tim penutup atau Alfa 29.

"Tim penutup atau Alfa 29 yang  menempatkan diri di jalur di tempat mereka (pelaku) melarikan diri melihat Santoso dan kelompoknya. Itu setelah tim terpilih yang lebih dulu masuk melakukan perburuan," katanya.

Tim Alfa 29 kemudian melihat lima orang, terdiri dari tiga pria dan dua wanita. Dua dari mereka membawa senjata dan salah satunya adalah DPO paling dicari, Santoso. Saat itu, Santoso dan anggota kelompoknya sedang santai akan mandi.

"Berdasarkan penglihatan (tim Alfa 29), mereka bersenjata. Mereka lagi santai mau mandi dan kegiatan MCK," katanya.

Tidak ingin menunggu lama, penyergapan dilakukan dan terjadi baku tembak pada pukul 17.00 sampai 17.30 WIB. Santoso alias Abu Wardah dan Muchtar alias Kahar, tewas dengan luka tembak.

Sementara tiga orang lainnya yang terdiri dari satu pria yang membawa senjata dan dua wanita berhasil meloloskan diri. Dari penyergapan ini, tim Alfa 29 mengamankan senjata laras panjang jenis M-16.

Selain itu, dari pembenaran kerabat juga dapat dipastikan jasad itu adalah Santoso. Sementara satu jasad lainnya adalah Muchtar, anggota dari kelompok Santoso.

"Untuk sementara dari identifikasi luar dapat disimpulkan dua jenazah adalah Santoso dan DPO atas nama Muchtar," katanya.

Sementara untuk lebih memastikan siapa dua jenazah, Polda Sulteng akan melakukan tes DNA yang akan dikuatkan dengan data pembanding dari keluarga yang bersangkutan.

"Kita harus melakukan identifikasi lain, dengan tes DNA. Mencoba mendatangkan keluarga untuk data pembanding," katanya.

"Ada enam sebenarnya tapi baru lima (diketahui) di antaranya, pengenalan wajah dari kelompok yang mereka tangkap kemudian ciri ciri tahi lalat di kanan tengah tengah yang (berukuran) 0,7 sentimeter," kata Juru Bicara Markas Besar Polri, Inspektur Jenderal Polisi Boy Rafli Amar di kantornya, Jakarta Selatan, Selasa, 19 Juli 2016.

Kemudian, kata Boy, berkaitan dengan pemeriksaan ada bekas luka tembak pada paha yang terjadi 2007, serta tahi lalat di bawah bibir sebelah kiri, yang kelima berkaitan dengan sidik jari jenazah tersebut.

"Jadi pernah diambil (data diri Santoso) 2004 memang mengarah pada Santoso jadi sesuai prosedur pelaksanaan tinggal DNA yang belum dilakukan," katanya menambahkan.

Dengan demikian, kata Boy, Kepolisian dan dokter dengan melakukan identifikasi jenazah Santoso berkat kondisi mukanya tidak rusak, meski sempat baku tembak dengan pasukan TNI dalam Operasi Tinombala.

"Dari wajah kita lihat bagus utuh, sehingga cepat dikenali para rekan sebelumnya yang menyerahkan diri atau tertangkap," katanya.

Buah Keterpaduan

Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI), Jenderal TNI Gatot Nurmantyo mengatakan, tewasnya teroris Santoso merupakan buah keterpaduan kerja aparat TNI dan Kepolisian.

Dengan sandi 'Operasi Tinombala', tak kurang dari 3.000 personel memburu Santoso dan komplotannya di wilayah Sulawesi Selatan sejak tahun lalu.

"Ini (tewasnya Santoso) adalah keterpaduan kerja yang bertahap dengan kesabaran," ujar Gatot di Markas Besar TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Selasa, 19 Juli 2016.

Gatot bercerita, pada pelaksanaan terakhir operasi yang berhasil menewaskan Santoso dan seorang rekannya, Muchtar, sembilan personel mulai melakukan perjalanan ke pedalaman Poso sejak 5 Juli 2016.

Meski jarak yang ditempuh hanya 11 kilometer, tim memerlukan waktu berhari-hari. Mereka mengendap di antara rimbun hutan pada malam hari. "Harus senyap supaya tidak terlihat," ujar Gatot.

Setelah berhasil menewaskan, tim juga berhati-hati memanggul jenazah. Gatot mengatakan delapan orang memanggul dua jenazah. Sementara, satu orang bertugas mengawasi lingkungan. "Mereka menempuh situasi hujan di malam hari dan juga banjir," ujar Gatot.

Gatot memuji kegigihan semua personel yang terlibat. Ia kembali mengingatkan keberhasilan negara menewaskan teroris yang beraksi sejak tahun 2011 itu adalah berkat keterpaduan aparat.

Adapun, batalyon Raider 515 Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad), beruntung menjadi bagian tim yang berada pada posisi terdepan menewaskan Santoso. "Saya bangga dengan tim yang pantang menyerah menghadapi situasi yang sulit," ujar Gatot.

Gatot juga menyampaikan apresiasinya kepada Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Sulawesi Tengah, Brigadir Jenderal Polisi Rudy Sufahriadi selaku penanggungjawab Operasi Tinombala. Brigadir Jenderal TNI, Ilyas Alamsyah yang menjadi wakil Rudy juga ia beri apresiasi.

Gatot mengatakan, tewasnya Santoso adalah hadiah bagi Kepala Kepolisian RI yang baru, Jenderal Polisi Tito Karnavian. Namun, keberhasilan operasi Tinombala juga adalah kenang-kenangan dari mantan Kapolri Jenderal Badrodin Haiti. "Pada saat mereka (tim) berangkat, (Kapolri) masih Pak Badrodin," ujar Gatot.***