JAKARTA - Pengamat Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Pangi Syarwi Chaniago menilai pasukan pengamanan Presiden (Paspampres) yang diduga membeli senjata secara ilegal dari Amerika serikat (AS) harus diberikan hukuman yang tegas.

"Aturan kita enggak tegas apalagi hukumnya, bila dibandingkan dengan hukum di AS jauh berbeda dengan kita. Sekarang saja penjualnya sudah dihukum lima tahun penjara, sedang kan kita mana, santai saja," ujar Pangi seperti dilansir Okezone, Selasa (12/7/2016).

Kata dia, pemerintah harus bertindak tegas terhadap oknum yang telah melakukan pembelian senjata ilegal. Hal itu akan beresiko terhadap pengawalan Presiden Joko Widodo, karena senjata yang dibelinya belum bisa menjamin sesuai prosedur.

"Bisa beresiko besar, apalagi terhadap pengamanan Presiden RI. Senjata itu kan kita enggak tahu sesuai standar atau tidak," paparnya.

Selain mengancam keamanan presiden, pembelian senjata itu bisa juga merugikan kedua belah pihak negara RI dengan AS. Nantinya hubungan Indonesia akan dipertanyakan dengan negara luar yang ada main kucing-kucingan dalam pembelian senjata untuk Paspampres.

Dalam kasus ini, pemerintah telah kecolongan dengan adanya transaksi jual beli senjata ilegal tersebut. Pangi mengaku miris melihat kondisi Indonesia yang akhir-akhir ini, apalagi dengan adanya pembelian senjata ilegal. Diketahui senjata tersebut untuk kepentingan dan keamanan negara di objek-objek vital.

"Senjata itu kan dilengkapi untuk mengamankan RI 1 ditempat-tempat tertentu, kalau senjatanya saja ilegal gimana dengan barang-barang lainnya," sambungnya.

Pangi menambahkan dengan membeli senjata ini dikarenakan tergiur dengan harga murah atau barang tersebut sudah rongsokan yang sudah tidak dipakai lagi di AS kemudian di jual ke Indonesia. Dia membandingkan dengan hukuman yang dilakukan oleh AS kasusnya langsung ditangani oleh Pengadilan Negeri dan dihukum lima tahun penjara serta sanksi administratif USD250 ribu atau Rp3,2 miliar.

"Pemerintah harus tegas, karena ini telah merugikan negara," tutupnya.***