MANILA - Pemerintahan baru Filipina yang dipimpin Rodrigo Duterte membuktikan janjinya dalam memerangi narkoba. Hanya dalam dua bulan, yakni 10 Mei hingga 7 Juli, total 103 pengguna dan pengedar narkoba telah menemui ajal. Itu belum termasuk delapan orang yang tewas dalam sebuah razia di Matalam, Provinsi Cotabato, Sabtu (9/7) kemarin dan seorang polisi yang ditemukan mati di Provinsi Bulacan pada Jumat dini hari. 

Jumlah tersebut merupakan catatan yang dilansir secara resmi oleh kepolisian Filipina. Namun, surat kabar Philippine Daily Inquirer mengklaim jumlahnya mencapai 119 orang. Termasuk 13 orang yang tidak diketahui identitasnya.

Sejak terpilih menjadi presiden dengan kemenangan mutlak melalui Pemilu awal Mei lalu, Duterte meminta polisi dan warga sipil membantu melenyapkan pelaku kriminal dan pengedar narkoba.

Sejak saat itu, beberapa kali ditemukan mayat di pinggir jalan. Yang terbaru, tubuh seorang polisi ditemukan tewas di tepi jalanan Manila. Tubuh atasnya dililit lakban, lalu ditutup karton bertulisan ’’Saya Pengedar Narkoba’’. Menurut seorang sumber di kepolisian setempat, korban merupakan salah satu polisi korup yang memiliki hubungan dengan pengedar narkoba.

Sebelumnya, polisi merazia sebuah rumah di Matalam. Delapan pengedar narkoba tewas, termasuk seorang perempuan. Satu orang lainnya selamat dan ditangkap. Di lokasi, polisi mengklaim menemukan tiga pistol dan empat granat.

"Mereka membahayakan nyawa petugas," kata Dionaldo Carlos, juru bicara kepolisian Filipina, soal penembakan delapan orang tersebut.

Para pengedar narkoba yang beroperasi di luar negeri juga jadi incaran Duterte. "Jangan kembali. Kalau tidak, sesaat setelah keluar pesawat, kamu akan mati," ancamnya. Pria yang dijuluki The Punisher itu juga mengancam dua pengedar narkoba yang masih beroperasi meski sudah berada di balik bui.

"Lebih baik mereka bunuh diri karena saya tidak akan membiarkan mereka terus beraksi," ucap Duterte.

Situasi di Filipina itu membuat beberapa pembela hak asasi manusia (HAM) menyampaikan protes keras. Bahkan, anggota parlemen Teddy Baguilat dan senator Leila de Lima meminta kongres menyelidiki kematian ratusan orang tersebut.

"Pembunuhan terus terjadi dan ini hanyalah sebagian kecil dari eksekusi yang akan terjadi," kata perempuan yang menjadi Menteri Hukum dan HAM dalam pemerintahan sebelumnya.

"Kebijakan Duterte dalam menekan angka kriminalitas malah memunculkan ledakan kekerasan yang tidak terkontrol. Filipina seolah menjadi negara tanpa hakim, tanpa hukum, dan tanpa alasan," kecam Jose Manuel Diokno, ketua Free Legal Assistance Group.

Dia menyebut kebijakan Duterte sama dengan yang dilakukan diktator Ferdinand Marcos. Dia membunuh ribuan orang tanpa alasan selama 20 tahun berkuasa. ***