JAKARTA - Kementerian Agama menetapkan menggunakan waktu imsak 10 menit sebelum subuh. Ketetapan ini didasarkan pada kesepakatan yang dicapai dalam Rapat Tim Hisab dan Rukyat pada Rabu kemarin. Rapat ini juga melibatkan sejumlah pihak seperti Majelis Ulama Indonesia, Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Persatuan Islam (PERSIS), Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Al Irsyad Al Islamiyyah, Al Washliyah, Persatuan Umat Islam (PUI), Universitas Islam Negeri (UIN), Bosscha ITB, Mahkamah Agung, Badan Metereologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Badan Informasi Geospasial, Planetarium Jakarta, serta Pakar Hisab RUkyat Perorangan.

Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah (Urais dan Binsyar) Muhammad Thambrin menjelaskan imsak dalam bahasa Arab berarti menahan. Sementara terkait dengan ibadah puasa, waktu imsak digunakan sebagai batasan dimulainya puasa.

Thambrin mengatakan para ulama sepakat puasa dimulai tepat dengan munculnya fajar shadiq, atau waktu subuh. Tetapi, Indonesia menggunakan batasan imsak sebagai waktu cegahan yang mengingatkan Muslim untuk menahan diri meski terdapat kalangan ulama yang membolehkan makan di waktu syak sebelum subuh.

Thambrin mendasarkan hal ini pada hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan Qatadah.

"Dari Qatadah, dari Anas bahwa Nabiyullah SAW dan Zaid bin Tsabut bersantap sahur. Setelah rampung dari santap sahur mereka, Nabi SAW berdiri untuk salat, kemudian beliau salat. Kami bertanya kepada Anas, 'Berapa lama antara rampungnya mereka dari santap sahur dan masuknya mereka ke dalam salat?' Ia berkata, 'Kira-kira sepanjang seseorang membaca 50 ayat'."

Dari hadits tersebut, Tim Hisab dan Rukyat menyepakati jarak waktu selesainya santap sahur Nabi SAW hingga masuk waktu salah adalah bacaan 50 ayat, dengan durasi waktu 10 menit. Waktu tersebut kemudian banyak dikenal dengan sebutan Waktu Imsak.

Meski begitu, kata Thambrin, Waktu Imsak bukan dimaksudkan untuk mengubah waktu puasa menjadi lebih maju dari batas yang ditetapkan syariat. Waktu ini hanya sebagai ikhtiar melestarikan sunah sekaligus tanda peringatan agar para Muslim tidak melanggar batas larangan.

"Kesepakatan ini juga didasarkan pada pandangan tentang ihtiyathi atau kehati-hatian dan mahzuri atau siaga," kata Thambrin.***