ISLANDIA - Johanes Ari, salah seorang pelajar Muslim yang tinggal di Islandia, merasa puasa Ramadan tahun ini cukup berat. Ia dan kaum Muslim di Islandia harus berpuasa selama nyaris 22 jam, mulai dari sahur pukul 02.30 dan berbuka pada tengah malam.

”Ketika Ramadan jatuh pada musim panas, cukup berat bagi kami untuk menjalankan puasa. Karena matahari seperti tidak benar-benar tenggelam, lalu terbit lagi. Ini yang menyebabkan waktu berpuasa kami paling panjang,” ujarnya dalam blog laman Arabnews, baru-baru ini.

Di salah satu negara paling utara di bumi itu, perputaran matahari memang terasa panjang. Bagi umat Islam, puasa di bulan Ramadan adalah wajib dan merupakan satu dari lima rukun Islam. Dan dengan kuasa Tuhan, iklim yang dingin di Islandia sedikit banyak membantu kaum Muslim tetap mampu menjalankan ibadah wajibnya ini.

”Bayangkan jika puasa selama ini dilakukan di negara Arab, pasti banyak yang tidak akan kuat,” ujar Anbari Redoan, pemilik sebuah restoran yang berasal dari Maroko. Ia sudah tinggal di Reykjavic, Islandia, sejak 1991, dan mengaku sedikit bosan saat berpuasa di negara dingin itu saking panjangnya waktu puasa.

Imam Pusat Dakwah Islam Islandia, Ahmad Soddeeq, tak memungkiri tantangan berat saat puasa di musim panas di Islandia. Meski demikian, puasa adalah ibadah wajib sehingga seluruh umat harus tunduk. Saat berbuka pada tengah malam, rata-rata kaum Muslim di Islandia berkumpul, baik itu di masjid atau komunitas Muslim lainnya untuk berbuka bersama.

”Saat puasa Ramadan, amalan yang berpahala besar adalah salat berjemaah. Oleh karena itu, kami terbiasa berbuka dan sahur bersama. Saat matahari tenggelam pada tengah malam, kami berbuka, lalu menjalankan salat Magrib berjemaah, lalu makan bersama. Tak lama setelahnya, kami mengerjakan salat Isya, Tarawih, disambung waktu makan sahur. Barulah kami pulang ke rumah masing-masing. Semua dilakukan hanya dua jam sebelum kembali berpuasa,” tuturnya.

Cerita lain digulirkan Sverrir Abnarsson Ibrahim, mualaf pertama di Islandia. Ia sering mempelajari agama Islam sendiri, termasuk tata cara puasa. Lima atau enam tahun lalu, ia pernah bertemu Ramadan saat berada di bagian utara Islandia. Ketika itu, matahari tidak benar-benar tenggelam, hanya turun sebentar lalu terbit lagi.

”Saya sempat bingung, bagaimana saya harus puasa, saya tidak punya waktu sahur dan berbuka yang cukup. Saya lantas bertanya ke beberapa komunitas Muslim dan saya tidak menemukan jawabannya. Karena saya tahu puasa Ramadan adalah wajib, saya tetap melakukannya, tetapi dengan cara saya sendiri dan saya mengikuti tata cara dan waktu berpuasa di Arab,” tuturnya lalu terkekeh.

Bagi kaum Muslim di Islandia, puasa tak sekadar ritual ibadah. Justru, dengan panjangnya waktu berpuasa membuat mereka menemukan nilai lain dari berpuasa.

Iris Bjork, perawat beragama Islam mengatakan, tantangan paling berat saat harus berbaur dengan mereka yang tidak berpuasa karena bisa bebas makan dan minum kapan saja.

”Kalau sekadar menahan lapar dan haus, saya rasa akan rugi. Oleh karena itu, amalan baik saat puasa dilipatgandakan karena menuai banyak tantangan,” katanya.

Ia menyebutkan, makanan khas buka puasa di Islandia adalah teh dan sup harira. Makanan itu dikenal berasal dari Maroko, berupa sup merah yang dimasak dengan tomat dan potongan daging sapi. Sup semacam itu paling pas disantap di tempat berhawa dingin.

Lantas, bagaimana menyiasati panjangnya waktu puasa? Agnes Osk, seorang ibu rumah tangga Muslim di Reykjavik punya kiatnya. ”Tidur. Karena puasa nyaris sepanjang hari itu melelahkan. Jika punya waktu untuk tidur, itu yang terbaik hingga menanti waktu berbuka,” katanya.***