"Ibuku seorang Baptis, dan ketika saya besar, ia mengajari segala yang ia ketahui tentang Tuhan. Setiap Minggu, ia mendandani saya, dan membawa saya dan abang saya ke gereja. Ia mengajari kami hal-hal yang dianggapnya benar. Ia mengajari kami supaya mencintai sesama dan memperlakukan siapa pun dengan baik. Ia mengajari kami bahwa berprasangka dan membenci itu salah. Ketika saya beralih agama, Tuhan ibuku tetap Tuhan saya hanya menyebutnya dengan nama yang lain. Dan pandangan tentang ibu saya tetap seperti yang saya katakan jauh sebelumnya. Dia baik, gemuk, perempuan menawan yang suka memasak, makan, menjahit, dan senang berada bersama keluarga. Ia tidak minum, merokok, dan mencampuri urusan orang, atau menggangu siapa pun. Tak seorang pun lebih baik kepadaku sepanjang hidupku, kecuali dia."

Sejak awal kariernya, Cassius Clay, yang kemudian mengubah namanya menjadi Muhammad Ali itu, dianggap oleh banyak orang sebagai "pemuda kulit berwarna yang baik". Dan bila kemudian ia dikenal sebagai si "mulut besar", Clay mempunyai alasannya sendiri. "Di mana saya akan berada minggu depan," katanya suatu ketika pada wartawan, "jika saya tidak tahu bagaimana caranya berteriak dan membuat publik menaruh perhatian pada saya? Saya mungkin masih miskin, dan terpuruk di rumah, mengelap jendela atau tangga berjalan dan sebentar-sebentar berkata, yes suh, no suh -- yes sir, no sir. Tapi kini saya menjadi salah satu atlet dengan bayaran tertinggi di dunia. Pikirkan itu. Pemuda kulit berwarna dari Selatan menghasilkan satu juta dolar."

Cassius Clay adalah seorang kulit berwarna yang membuat kulit putih Amerika merasa nyaman. Sindikat yang mendukung petinju ini semua kulit putih. Kemudian, untuk pertama kalinya, di markas Clay seorang kulit hitam "jenis lain" muncul ke permukaan. Tanda-tanda munculnya "persoalan" pertama kali terjadi pada September 1963. Yaitu ketika harian Philadelphia melaporkan bahwa Clay menghadiri rapat akbar yang diselenggarakan oleh Black Muslims di Philadelphia: "Clay tampak di tengah kerumunan sekitar lima ribu orang yang tengah mendengarkan Elijah Muhammad, pemimpin Nation of Islam, yang selama tiga jam memaki-maki ras putih dan memopulerkan pemimpin-pemimpin Negro. Clay, yang datang ke situ dari Louisville, Kentucky, ada di antara mereka yang mendukung Elijah Muhammad sebagai pemimpin muslim kulit hitam di negeri itu dan di seluruh dunia yang berniat membentuk barisan tangguh untuk menentang kulit putih. Meskipun Clay waktu itu mengaku bukan seorang muslim, ia mengatakan Muhammad seorang yang hebat."

Laporan Philadelphia meluas tanpa begitu menarik perhatian. Ketika itu Clay belum menandatangani kontrak untuk bertarung dengan Sonny Liston, dan Nation of Islam, nama asli Black Muslims, masih belum terkenal. Kemudian, pada 21 Januari 1964, Clay meninggalkan kamp latihan dan pergi dari Pantai Miami ke New York. Waktu itulah kontrak merebut kejuaraan ditandatangani.

Pertarungan sudah dekat, dan Clay kini bukan sekadar menghadiri rapat-rapat kelompok muslim itu, tapi juga berpidato. Malcolm X mendampinginya. Sampai-sampai surat kabar New York Herald Tribune menulis: "Petinju muda urakan yang merayakan ulang tahun ke-22-nya pekan lalu barangkali bukan pembawa kartu anggota masyarakat muslim. Namun, tak disangsikan, ia bersimpati pada tujuan masyarakat muslim, dan dengan kehadirannya di pertemuan itu ia memberikan gengsi pada kelompok itu. Dialah kulit hitam yang terkenal secara nasional pertama yang mengambil bagian aktif dalam gerakan Islam. Namun, ia belum mengumumkan secara resmi dukungannya pada kelompok Islam. Ia mungkin tidak akan membicarakan topik itu secara terbuka. Ia berbicara tentang pukulan-pukulannya, kecepatannya, penampilannya yang baik, tapi ia bungkam tentang gerakan itu."

Cerita itu menghangat. Dua pekan kemudian, berkala Louisville Courier-Journal melansir wawancara dengan Clay tentang kunjungannya ke New York. "Tentu saja saya bicara dengan kelompok Islam," katanya mengaku. "Dan saya akan kembali lagi. Saya menyukai orang-orang Islam. Saya tidak akan mati-matian memaksa diri saya masuk dalam suatu kelompok bila mereka tidak menghendaki saya. Saya menyukai hidup saya. Integrasi itu salah. Masyarakat kulit putih tidak menginginkan persatuan. Saya tidak percaya hal itu bisa dipaksakan, demikian juga orang-orang Islam. Jadi, apa yang salah dengan kelompok Islam?"

Pada tanggal 7 Februari 1964, 18 hari sebelum pertarungannya dengan sang juara kelas berat Sonny Liston, artikel di Miami Herald mengutip ucapan ayah Clay, Cassius Clay Sr.: "Anak saya bergabung dengan Black Muslims."

Dan inilah pengakuan Muhammad Ali sendiri: "Saya mendengar perihal tentang Elijah Muhammad pertama kali di Turnamen Golden Gloves di Chicago (1959). Kemudian, sebelum saya berangkat ke Olimpiade, saya melihat koran yang diterbitkan oleh Nation of Islam, Muhammad Speaks. Saya tidak begitu memperhatikannya, meskipun banyak hal mampir di benak saya.

Ketika saya dewasa, pemuda kulit hitam bernama Emmett Till dibunuh di Mississippi karena menyuiti seorang wanita kulit putih. Emmet seumur dengan saya. Mereka menangkap para pembunuhnya, tapi tidak diapa-apakan. Kejadian seperti ini berulang terus. Dan dalam hidupku, ada tempat-tempat di mana saya tidak bisa masuk, tempat-tempat di mana saya tidak bisa makan. Saya memenangi medali untuk Amerika Serikat di olimpiade, dan ketika saya pulang ke Louisville, toh saya tetap diperlakukan sebagai Negro. Sejumlah restoran tak mau melayani saya. Beberapa orang tetap memanggil saya boy.