JAKARTA- Belum genap dua bulan Kasubdit Perdata Mahkamah Agung (MA) Andri Tristianto Sutrisna ditangkap karena kasus suap, KPK kembali menciduk pejabat pengadilan, yakni panitera PN Jakpsus, Edy Nasution.

Kenapa penangkapan pejabat pengadilan oleh KPK kembali terulang? "Serakah dan tidak bersyukur," kata juru bicara Komisi yudisial (KY), Farid Wajdi kepada detikcom, Kamis (21/4/2016).

Edy sudah mengingatkan saat KPK menggerebek panitera PTUN Medan Syamsir Yusfan dan disusul Ketua PTUN Medan Tripeni, hakim PTUN Medan Amir Fauzi dan Dermawan Ginting. Sebagai panitera, Syamsir menjadi penghubung antara pihak berperkara yaitu OC Kaligis dengan klien Gubernur Sumut dengan majelis hakim.

"Bagaimana pun juga, atas terjadinya kasus ini kami menyampaikan keprihatinan, kerana ulah beberapa oknum wajah peradilan kembali tercoreng," kata Farid.

Dalam catatan KY, saat ini ada sekitar 32.583 orang tenaga non hakim yg ada di bawah kekuasaan manajemen MA. Adapun untuk hakim sekitar 7.500 orang.

"Maka dari sini saja telah dapat diketahui betapa besar load kerja MA, hanya dari sisi pengawasan, jumlah SDM maupun luasnya wilayah pengawasan. Sekali pun telah diberlakukan mekanisme pengawasan  berjenjang melalui pengadilan tinggi, tetap saja kelemahan pasti terjadi di banyak tempat," ucap Farid.

Berdasarkan laporan tahunan MA tahun 2014, rasio perbandingan pembinaan berupa pemberian sanksi terhadap pelanggaran masih banyak didominasi dari unsur hakim. Padahal jumlahnya hanya 7.500 (diberi sanksi 117 orang). Sementara jumlah tenaga non-hakim justru lebih sedikit diberikan sanksi (dari 32.583 hanya 92 dikenakan sanksi). Hal itu bisa juga diartikan bahwa tangan pengawasan tidak sampai menjangkau seluruhnya, karena terlampau banyak dan luas.

"Maka dari ulasan di atas, bisa disimpulkan ada 2 masalah, yaitu pertama, tentang load yang terlalu banyak. Kedua tentang fokus prioritas pengawasan yang tidak imbang, Bagaimana pun MA tidak bisa sendirian dalam mengelola manajemennya, misalnya dari sisi pengawasan. Maka diperlukan kerja sama dengan organ lain seperti Komisi Yudisial (KY) guna mencegah terjadinya hal-hal seperti kasus ini," papar Farid.

KY mengimbau kepada publik untuk tidak menyudutkan peradilan Indonesia lebih jauh. Karena pada dasarnya aparat yang baik masih jauh lebih banyak dari pada yang korup. Tidak sepatutnya karena kasus ini maka stigma negatif diberlakukan kepada semuanya.

"Saat seperti ini adalah moment yang tepat bagi kita untuk bersama mendukung institusi peradilan dalam membenahi banyak hal karena makin baik institusi peradilan maka makin baik pula keadilan untuk masyarakat Indonesia," pungkas Farid. ***