JAKARTA - Bukan berita baru memang jika nikotin yang terkandung dalam rokok berperan sebagai zat adiktif yang bisa membuat candu. Hal inilah yang menjadi faktor seseorang yang sudah terpapar zat ini dalam waktu yang lama, seakan sulit untuk lepas dari ketergantungan. Hasilnya bisa ditebak, ancaman berbagai penyakit pun siap mengintai kesehatan.
Ditemui dalam diskusi bertajuk "Mengikuti Jejak Akuntabilitas Industri Rokok" di kawasan Bogor, Jawa Barat, salah satu pembicara, dr Diah Evasari Husnulkhotimah selaku Peneliti di Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Universitas Indonesia, memaparkan kerugian yang ditimbulkan oleh industri rokok adalah ancaman timbulnya beragam penyakit terkait dengan asap rokok antara lain CVD, neoplasma atau kanker, perinatal pada anak hingga maternal pada ibu yang sekarang ini mengalami kenaikan secara signifikan.

"Bisa dilihat tren angka penyakit yang ditimbulkan oleh asap rokok cenderung meningkat," ujarnya menunjuk pada data grafik.

Terkait dengan biaya, ia juga mengungkapkan bahwa biaya yang dikeluarkan pun bukanlah nominal yang kecil. Misalnya saja seperti terjadinya serangan jantung, akan menelan biaya sebesar Rp 500 juta, sedangkan jika terkena kanker biaya perawatan yang harus dikeluarkan berkisar Rp 500 juta hingga Rp 1 miliar. Kemudian untuk penyakit paru-paru 10 hingga 50 juta dan kelainan janin lebih dari 50 juta.

"Pada data yang kami peroleh ditahun 2010 dari Departemen Kesehatan,ada sekitar 500 orang perhari yang mati setiap harinya namun masyarakat belum sepenuhnya menyadari penyakit ini timbul dari asap rokok," ungkapnya.

Eva mengatakan, beberapa waktu lalu pemerintah pernah menetapkan negara darurat narkoba, karena ada sekitar 50 orang yang meninggal setiap harinya. Namun, ia menyayangkan angka ini lebih kecil jika dibandingkan dengan jumlah kematian akibat rokok, akan tetapi pemerintah hingga saat ini belum menetapkan status negara darurat rokok. Padahal, jika dikaitkan dengan biaya pengobatan yang disebabkan oleh asap rokok, nantinya 15 hingga 30 tahun yang akan datang pemerintah akan mengalami tanggungan beban yang sangat besar dalam meng-cover biaya kesehatan,terlebih saat ini saja Indonesia telah memasuki sistem jaminan kesehatan yang diselenggarakan oleh BPJS.

"Penerimaan cukai rokok tahun 2013 dari data Badan LitbangKes hanya sekitar Rp 103 triliun, sedangkan biaya yang harus dikeluarkan untuk komposisi belanja rokok masyarakat sekitar Rp 138 triliun, kehilangan produktivitas Rp 235,4 triliun, biaya rawat jalan dan inap Rp 5,3 triliun, hingga biaya konsumsi tembakau jauh lebih besar yakni Rp 378,7 triliun. Bahkan jika kita lihat cukai tahun 2015 pun hanya sekitar Rp 139 triliun, tetap tidak bisa membayar kompensasi orang perorang warga negara Indonesia," paparnya panjang lebar.

Menurutnya lagi, bisnis industri rokok sebenarnya tidak menguntungkan pihak pemerintah malah labih banyak merugikan. Misalnya saja, sekitar 72% bahan mentah tembakau berasal dari impor, perusahaan pemiliknya lebih didominasi asing belum lagi penyakit yang ditimbulkan. "Lalu kita dapat apa? Kalau menurut saya industri rokok jelas sangat,sangat merugikan," ujarnya.

Oleh karena itu, lanjut Eva, untuk mengantisipasi hal yang lebih buruk, pemerintah sudah seharusnya menuju sistem cukai rokok yang ideal. Dalam UU No.39 tahun 2007 tentang cukai ada poin yang menyatakan tentang pengendalian konsumsi harus dijadikan satu-satunya tujuan. Untuk itu, pihaknya ingin menagih janji program Nawa Cita yang dicanangkan oleh Presiden Jokowi untuk menaikkan cukai rokok sekitar 200 persen.

"Sebenarnya jargon kita adalah win-win solution, karena cukai sudah terbukti menurunkan konsumsi tapi tidak akan membuat industri rokok bangkrut seketika. Dia (industri rokok) akan turun tapi tidak akan membuat bangkrut seketika. Kenapa karena nikotin adalah adiktif. Jadi orang-orang yang merokok dinaikkan cukainya tidak serta merta akan membuat industri rokok turun," pungkasnya. ***