JAKARTA - Hanif Faalih, mahasiswa semester II Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta berhasil membuat sabuk untuk membantu tunanetra berjalan sendiri tanpa menggunakan tongkat.

Ide ini muncul ketika Hanif Faalih dan temannya melihat kondisi penyandang tunanetra di sekitar tempat tinggalnya. Kondisi keterbatasan mereka yang tidak bisa melihat disertai tak pernah lepasnya tongkat di tangan para penyandang membuat Hanif tersentuh. Seketika Alumnus SMA Al Irsyad, Purwokerto ini memiliki dorongan untuk menciptakan alat yang kelak bisa membantu mereka.

“Terpikir untuk menciptakan alat yang bisa mempermudah mereka tanpa harus repot memegang terus tongkatnya,” kata laki-laki berkacamata ini di Gedung LIPI Jakarta, Senin (7/3).

Dari hal yang kecil inilah, Hanif pun mulai mempelajari alat dan bahan apa yang bisa dipakai untuk mempemudah jalan para tunanetra. Berbagai pengetahuan dia dapatkan, baik dari dosen Universitas Soedirman, gurunya maupun internet dan buku. Hingga akhirnya dia bersama Akhmad Khalid Farhan mampu menciptakan Sabuk untuk Penyandang Tunanetra (Saputra).

Saputra merupakan alat ciptaan Hanif dan kawannya saat duduk di bangku SMA kelas XII. Alat ini bertujuan untuk membantu penyandang tunanetra. Hanif menerangkan, alat ini bentuknya sama persis dengan sabuk. Hanya saja memiliki dua  sensor di ‘kepala sabuknya’itu. Sensor pertama berada di atas kepala sabuk yang mampu mendeteksi benda-benda di sekitar pemakai dengan radius 1,5 meter.

“Sementara sensor yang di bawah radiusnya satu meter,” kata pria yang saat ini sudah menjadi mahasiswa semester dua di Universitas Gajah Mada (UGM) pada tahun ini.

Menurut Hanif, sensor ultasonik ini menggunakan Arduino uno atau board mikrokontroler yang didasarkan pada ATmega328 (datasheet). Dengan kata lain, board ini seperti CPU dalam komputer. Mikrokontroler ini bekerja untuk mengolah jarak antara benda dan pemakai sabuk. “Jika dalam jarak tertentu dan seperti hendak menabrak benda, alat ini akan bergetar dan bunyi,” kata mahasiswa jurusan teknik elektro ini.

Alat yang diciptakan Hanif dan kawannya ini menggunakan baterai sembilan volt. Dayanya sama persis dengan yang dipakai mikrofon.  Dengan baterai tersebut, kata Hanif, alat tersebut akan bekerja selama delapan jam apabila ‘Saputra’ ini berjalan terus menerus dalam waktu tersebut.

Hanif mengaku terdapat kesulitan saat menciptakan Saputra ini. Hal ini terganjal pada masalah pemograman dan pengaturan tata letaknya. Sehingga, dia melanjutkan, alat ini pun baru bisa terselesaikan selama dua hingga tiga bulan. Menurut pria berkacamata ini, ciptaan ini hanya menghabiskan biaya Rp 300 ribu kala itu.

Menurut Hanif, alat ini sangat bermanfaat bagi para penyandang tunanetra. Penilaian ini tidak hanya pendapat pribadi saja tapi juga  penyandang yang sempat memperoleh kesempatan untuk mencobanya. Hanif mengungkapkan, penyandang tersebut merespon positif karena merasa terbantu dalam berjalan dengan tanpa memegang tongkat kembali.***