JAKARTA - Presiden Jokowi setuju memberikan hukuman tambahan untuk para pelaku kejahatan seksual terhadap anak-anak berupa pengebirian syaraf libido. Bagaimana sebenarnya cara mengeksekusi kebiri kimia (chemical castration) ini?
Detikcom pernah mewawancarai Dokter Spesialis Andrologi Wimpie Pangkahila terkait proses kebiri kimia. Dia menjelaskan bahwa kebiri itu kuncinya dengan menekan hormon testosteron yang menjadi faktor terpenting untuk menimbulkan gairah seksual.


"Dorongan seksual atau gairah seksual dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satu faktor terpenting ialah hormon testosteron. Hormon testosteron tidak hanya berpengaruh bagi dorongan seksual pria, melainkan perempuan juga. Kalau testosteron berkurang maka dorongan seksual juga berkurang bahkan hilang sama sekali," kata Wimpie dalam keterangan tertulis atas pertanyaan yang dilontarkan detikcom, Mei 2014 silam.


Hormon testosteron di pria diproduksi di dalam testis (buah zakar) dan sebagian kecil di kelenjar anak ginjal. Dalam bahasa ilmiah kedokteran, kebiri disebut kastrasi. Kastrasi ini pada masa lalu dilakukan dengan membuang kedua testis, bukan penis.


Bila seorang pria tidak memiliki testis, maka hormon testosteron hanya akan diproduksi oleh kelenjar anak ginjal sehingga jumlahnya sedikit. Akibatnya dorongan seksual berkurang, bahkan hilang sama sekali, sehingga keinginan melakukan hubungan seksual tidak ada, selain menjadi tidak mampu.


Cara tersebut dilakukan di masa lampau. Kini, ada cara lain yang mempunyai efek sama tanpa membuang kedua testis. Cara ini dianggap lebih beradab sesuai perkembangan lmu pengetahuan dan teknologi.


"Inilah yang disebut chemical castration (kastrasi secara kimiawi). Cara ini dilakukan dengan memberikan pengobatan yang berfungsi menekan hormon testosteron, disebut anti androgen atau anti testosteron. Sebagai contoh, obat antiandrogen ialah Medroxyprogesterone acetate dan Cyproterone," jelas Wimpie.


Kalau seorang pria diberi antiandrogen, maka reaksi yang terjadi ialah dorongan seksualnya tertekan atau hilang, kemampuan ereksinya hilang, dan produksi sel spermatozoanya tertekan bahkan hilang sehingga menjadi mandul. Pada tahun 1991 salah satu penelitian Wimpie yang dimuat di jurnal internasional mengenai penggunaan antiandrogen untuk tujuan kontrasepsi pria. Terbukti semua pria yang menjadi sukarelawan pada waktu itu mengalami kemandulan. Tetapi agar dorongan seksual dan ereksinya tidak terganggu, maka hormon testosteron juga diberikan. Tetapi setelah pemberian antiandrogen dihentikan, maka kesuburan mereka kembali normal.


Pemberian antiandrogen dapat menekan hormon testosteron sehingga menekan dorongan seksual, menekan kemampuan ereksi, dan mengakibatkan kemandulan. Tetapi kurangnya testosteron akibat pemberian antiandrogen juga menimbulkan akibat buruk lain, yaitu tulang keropos, massa otot berkurang, lemak meningkat, risiko penyakit jantung pembuluh darah, dan kenyamanan hidup terganggu. Dengan kata lain, kekurangan hormon testosteron menyebabkan orang mengalami proses penuaan lebih cepat.


"Dalam kaitan untuk menekan dorongan seksual pelaku kekerasan seksual, kastrasi kimiawi tersebut dapat dijadikan pertimbangan. Masalahnya, kalau pemberian antiandrogen dihentikan, maka dorongan seksual dan fungsi ereksi dapat kembali normal, apalagi kalau kemudian mereka mendapat pengobatan testosteron lagi," jelas Ketua Bagian Andrologi dan Seksologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Bali ini. ***