JAKARTA - Sugar daddy merupakan istilah yang ditujukan kepada pria tua kaya yang memelihara satu atau beberapa perempuan muda. Dikutip dari okezone.com, maksud memelihara tersebut adalah membiayai hidup si perempuan yang biasa disebut dengan sugar baby. Sebagai balas budi, sugar baby mesti rela melakukan apa saja yang dikehendaki sugar daddy. Salah satu yang paling sering diminta adalah 'bobo bareng' dan melayani hasrat seksual.

Hal ini mungkin terdengar serupa dengan pelacuran. Seperti yang dikatakan psikolog Meity Arianti. Menurutnya, istilah sugar baby ini bahasa halusnya pelacur, namun dalam konteks yang lebih halus. Halus di sini maksudnya ialah si perempuan tak jarang diperlakukan seperti kekasih sendiri, bukan layaknya pelacur yang 'sekali pakai langsung ditinggal'.

Dalam penjelasannya, Mei juga menuturkan, sugar daddy merupakan istilah yang merujuk pada pria dewasa yang menghabiskan banyak uang untuk pacarnya yang berusia lebih muda. Biasanya sugar daddy akan memberikan banyak hal terutama uang untuk diberikan pada Sugar Baby.

''Sebenarnya sugar daddy sejak dulu sudah ada, namun dengan istilah yang berbeda. Nama ini juga kan sebenarnya dari luar negeri. Di Indonesia saja yang baru-baru ini diangkat kembali karena media sosial,'' papar Mei pada Okezone, Jumat 13 September 2019.

Namun yang membingungkan bagi Mei adalah apa bedanya hal ini dengan pelacuran terselubung? Atau ''peliharaan'' istilah lainnya (mungkin ada yang dinikahi, ada yang tidak) atau malah ''prostitusi terselubung''?

Di mata Mei, sugar daddy adalah sebutan yang keren, karena dianggap membantu para gadis-gadis mewujudkan semua yang diinginkannya. Padahal, ada 'balas budi' yang harus diberikan si sugar baby. Sebab, rasanya kecil kemungkinan sugar daddy melakukan kebaikan itu dengan cuma-cuma.

Korban yang Diincar

Dalam menilai fenomena ini, psikolog Mei melihat, korban dari sugar daddy ini kebanyakan remaja. Hal ini terjadi karena banyak faktor, salah satunya remaja yang ingin hidup glamor tapi tidak punya kebisaan apa-apa. Remaja ingin hidup senang tanpa harus kerja keras. Alhasil, sugar baby jadi alternatif pilihan hedonis.

Selain itu, korban dari sugar daddy ini adalah remaja yang kurang mendapat kasih sayang, perhatian, ikut-ikutan lingkungan sosialnya, mau dianggap gaul, dan alasan lain yang berkaitan dengan efek sosial.

''Saya menilai korban dari sugar daddy ini kebanyakan adalah remaja galau yang butuh perhatian. Sugar daddy melihat celah itu dan menggunakan kekuasaan materinya untuk menggaet mangsa,'' ungkap Mei.

Hal menyedihkan di sini ialah ketika sugar daddy tersebut punya keluarga bahkan anak. Apa yang terjadi dengan keluarga mereka? Istri dan anak-anak mereka? Tentu, upaya 'selingkuh' ini hanya akan menimbulkan luka batin yang mendalam.

Kemudian, yang menjadi sugar baby, apa yang terjadi bila keluarganya tahu atau kebetulan keluarga sugar daddy-nya tahu? berpikirkah ke sana? Pertanyaan semacam ini tentu akan muncul dalam pembahasan semacam ini.

Bagaimana Jawabannya?

Psikolog Mei menilai, rasanya mereka yang terlibat tidak begitu memikirkan hal tersebut. Mungkin di awal iya, namun sejalannya waktu, terlebih sudah mendapat kenikmatannya, ya, pertanyaan di atas bukan lagi jadi kendala.

''Saya rasa tidak, ya. Karena kan sebenarnya menjadi sugar daddy dan sugar baby adalah pilihan, artinya mereka bisa memilih untuk nggak melakukan hal itu. Kalau semua dampak terjadi di depan, nggak akan ada penyesalan rasanya. Tapi buat apa kalau sudah terjadi dan menyesal, nggak berguna juga,'' kata Mei.

Dia menegaskan, daripada kita sibuk mengecam dan berpikir tentang perilaku sugar daddy dan sugar baby, sebaiknya membentengi keluarga dengan agama dan moral. Terutama buat anak-anak remaja. Orangtua tentu harus ekstra hati-hati dan menjaga putri-putri mereka agar tidak terjebak arus pergaulan yang luar biasa.

Sebab, tidak bisa dipungkuri, remaja-remaja galau akan lebih mudah terpengaruh lingkunganya, ya, salah satunya fenomena ini.

''Orangtua mesti memberikan perhatian yang serius di momen perkembangan anak, karena percayalah, semua yang terjadi di luar sana harus diakui kalau faktor keluarga cukup berperan dalam menentukan hal itu terjadi,'' ungkap Mei.

Orangtua juga harus menyadari, ketersediaan waktu buat anak-anak itu tidak akan bisa kembali, kalau sudah terjadi dan berlalu, maka orangtua sudah kehilangan waktu tersebut, nggak mungkin balik lagi dan akan sama juga hasilnya kalau mau kembali ke masa itu.

''Saya rasa kalau remaja-remaja dibekali ilmu agama, ilmu pengetahuan, dan moral yang datangnya dari keluarga yang penuh kasih sayang dan perhatian, Sugar Daddy nggak akan dapat Sugar Baby,'' pungkasnya. ***