CILACAP - Keterbatasan tidak menghalangi Anisa Rizkiani Wulandari untuk melanjutkan pendidikan hingga ke perguruan tinggi. Meskipun untuk pergi ke kampus, gadis penyandang difabel ini harus naik mobil pikap sejauh 15 kilometer dan selalu didampingi ibunya. Dikutip dari liputan6.com, Anisa tampak paling mungil di tengah kerumunan mahasiswa yang tengah asyik berdiskusi dengan sejumlah jurnalis. Dia duduk lesehan di barisan paling depan.

Saat sesi tanya jawab, dengan percaya diri, ia mengungkap bahwa keinginan terbesarnya adalah menjadi seorang penulis. Tepatnya, menulis puisi atau jadi sastrawan.

Hanya saja, ia belum mendapati ada komunitas atau ruang untuk mengeksplorasi hobinya itu. Karenanya, bertahun-tahun, sejak SMP dulu, ia mencoretkan puisinya di lembaran kertas, komputer atau ponsel.

Maklum, rumah dan lingkungannya benar-benar jauh dari perkotaan. Anisa tinggal di Dusun Rambutpala RT 1 RW 7, Desa Sadabumi, Kecamatan Majenang.

Dari tempat kuliahnya sekarang di STMIK Komputama Majenang, desanya berjarak sekitar 15 kilometer dengan medan menanjak tajam. Dan itu dilakukannya selama tujuh tahun terakhir, sejak kelas 1 SMP. Satu-satunya angkutan yang beroperasi adalah pikap.

Kemampuannya yang berbeda atau difabel tak membuat semangatnya luntur. Semangat belajarnya hingga perguruan tinggi pantas diacungi dua jempol.

Ia merasa beruntung. Hari itu, ia bertemu dengan jurnalis media online, cetak, televisi dan radio sekaligus. Seluruhnya adalah para wartawan media nasional dan lokal yang bertugas di area Banyumas Raya.

''Saya ingin agar karya saya bisa dipublikasikan. Saya ingin menerbitkan buku kumpulan puisi,'' ucapnya, Sabtu 20 Oktober 2018.

Karyanya, sebagian besar adalah curahan hati. Namun, ada pula puisi untuk memotivasi diri dan orang lain yang ditakdirkan difabel seperti dirinya.

Diskusi usai. Satu per satu, teman-temannya beranjak. Sejurus dengan itu, seorang wanita setengah baya mendekat ke arah Anisa. Ia adalah Teti Rohayati (42) ibunda Anisa.

Bagi Teti, Anisa yang difabel tak membuatnya berkecil hati. Ia justru terus mendorong anak kesayangannya ini untuk menggapai cita-citanya.

Komitmen Ramah Difabel

Teti bukanlah seorang wanita berpendidikan tinggi. Hanya saja, ia tahu bahwa pendidikan teramat penting. Karenanya, ia ikhlas mengantar jemput dan mendampingi anaknya saat bersekolah, mulai dari SD hingga kuliah.

Bahkan sejak Anisa masuk SMP, ia turut naik angkutan dan menunggu hingga Anisa pulang. Dan itu, dilakukannya sejak tujuh tahun lampau.

''Menuruti keinginan Anisa. Kalau saya yang penting anak bahagia. Itu saja,'' ucap Teti, tak kalah bersemangat dibanding Anisa.

Anak pertama pasangan Daswa (44) dan Teti ini memang tumbuh dengan kondisi difabel. Tetapi semanhgat belajarnya sangat tinggi.

Sejak usia 5 tahun, Anisa memperlihatkan bahwa ia tak kalah dari teman sebayanya. Ia pun merengek bersekolah, meski orang tua tak mewajibkan menilik kondisi fisiknya.

Belakangan, melihat semangat Anisa yang luar biasa, seluruh keluarga, termasuk Almarhum Mbah Kakungnya, Dahri Hadi Sutrisno memotivasi agar Anisa terus bersekolah sampai perguruan tinggi. Beruntung, di kota terdekat ada perguruan tinggi berdiri.

''Ya tadinya juga berfikir mau kuliah di mana. Kalau jauh kan saya juga harus ikut tinggal di kos,'' Teti menuturkan.

Ketua Yayasan El Bayan Majenang, Dr Fathul Aminudin Aziz mengatakan, kampus sejak awal sudah menyiapkan sarana ramah difabel. Jalan masuk, tangga dan beberapa infrastruktur lainnya dibangun agar mudah diakses.

Diakuinya masih ada sejumlah kelengkapan lain yang mesti dibenahi agar ramah difabel. Tetapi, berkomitmen agar kampus STMIK Komputama benar-benar ramah difabel.

Selain itu, kampus ini juga memberi beasiswa penuh kepada mahasiswa dari keluarga tak mampu.

''Kita juga membangun bertahap. Karena tahun ini adalah kali pertama penerimaan mahasiswa. Alhamdulillah ada 156 mahasiswa,'' Aziz menerangkan. ***