DELI SERDANG- Ramadhan termasuk salah satu bulan yang paling ditunggu Sukiyati (65) dan saat ramadhan berakhir ia merasa ikut sedih. Alasannya bukan saja karena hilangnya ibadah tarawih yang tidak pernah ditinggalkannya, tapi juga tuntutan hidup yang keras yang membuat dirinya lebih nyaman menjalankan kehidupan saat  ramadhan.

“Kalau bulan ramadhan kita kan puasa, biaya hidup lebih hemat, tapi kalau hari biasa biaya hidup membengkak. Otomatis pengeluaran belanja lebih besar,”ucap Sukiyati warga Pasar 2 Sigara-Gara, Kecamatan Patumbak, Deli Serdang saat menerima paket sembako dari FJPI (Forum Jurnalis Perempuan Indonesia) beberapa waktu lalu.

Ia merasa dihari biasa pun keadaan membuat dirinya harus ‘berpuasa’. “Saya buruh nyuci, anak-anak nganggur. Untuk belanja mengharapkan dagangan sayur genjer,”kilahnya. Di rumah berukuran 4x4  berdinding tepas dan beratap rumbia yang sudah banyak bolongnya, Sukiyati hidup bersama 3 orang anak dan satu cucu. Sukiyati dibantu oleh anak tertuanya Suti yang sudah janda yang tiap harinya juga buruh cuci dengan gaji perbulan Rp400 ribu. Putra keduanya Lilik memiliki penyakit keterbelakangan mental, sementara adiknya Lilik, yaitu Adi juga seorang pengangguran.

“Kalau saya mikirin nasib, sudah stress saya. Tapi ya sudah, mau gimana lagi. Saya masih punya Allah, saya bisa solat dan itulah cara saya mencari bahagia dan ketenangan,”ungkapnya tegar.

Usai menunaikan sembahyang subuh, Sukiyati berangkat menjadi buruh cuci,  dengan upah Rp300 ribu perbulan.  Pukul 8.00 WIB ia kembali ke rumah untuk menjaga cucunya, agar anak tertuanya bisa bekerja yang juga berprofesi yang sama dengan dirinya. Pukul 12.00 WIB saat anaknya pulang, Sukiyati berangkat ke ladang yang jaraknya sekitar 4 km. Di ladang itu ia mencari genjer, dananya itu dijadikan untuk belanja kebutuhan sehari-hari.

“Perhari kadang dapat Rp15 ribu dan paling banyak Rp30 Ribu. Dulu bisa dapat Rp30 ribu karena gak banyak yang ngambil genjer, sekarang saya harus bersaing dengan orang lain lagi,”tuturnya. Genjer dibawa pulang, diikat dengan harga perikatnya Rp 1000, baru dijual kembali. “Yang jual itu Suti, dia jual dengan cara berkeliling kampung.” Untuk memperoleh uang sekitar tiga puluh ribu hasil penjualan genjer, keluarga ini harus menunggu hingga sore hari.

Terdesaknya dengan beban hidup, Sukiyati merasa lebih senang saat bulan ramadhan. Kini salah satu impian terbesarnya adalah memperbaiki rumah. “Rumah atapnya sudah bolong, hujan dikit saja kami kehujanan, apalagi hujan deras. Saat hujan deras bahkan saat tengah malam sekalipun, satu keluarga ini diam-diam keluar, mencari perlindungan ke emperan rumah  tetangga. “Saya ingin sekali bisa memperbaiki atap rumah yang bocor, setidaknya kami bisa tidur nyaman di malam hari. Karena saat itulah waktu istirahat yang sebenar-benarnya,”harapnya.