BADUNG – Bank Indonesia (BI) menilai peringkat layak investasi (investment grade) yang diberikan lembaga pemeringkat Standard & Poor's (S&P) akan mendongkrak laju pertumbuhan ekonomi pada 2017. Seperti diketahui, pada Jumat 19 Mei 2017, S&P memberikan status layak investasi sekaligus menaikkan level surat utang jangka panjang Pemerintah Indonesia dari BB+ menjadi BBB-. Kenaikan peringkat tersebut menandakan berkurangnya risiko ekonomi, terutama internal, sehingga diharapkan menjadi sentimen positif bagi masuknya aliran modal asing ke pasar keuangan. Kendati demikian, BI belum merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi pada tahun ini yang diperkirakan di kisaran 5-5,4%.

“Pasti akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Tapi kita belum menganalisis dampak (kenaikan peringkat) dari S&P ini. Mudah-mudahan bisa di batas atas atau paling tidak batas tengah,” kata Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Dody Budi Waluyo saat ditemui di sela-sela acara diseminasi Laporan Perekonomian Indonesia (LPI) 2016 di Badung, Bali.

Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara menambahkan, Indonesia pernah mendapat status layak investasi dari S&P pada 20 tahun lalu sebelum mengalami krisis pada 1998. Saat krisis, status surat utang Indonesia diturunkan S&P beberapa level menjadi selective default. Dengan begitu, status layak investasi dari S&P diharapkan bisa mendorong tidak hanya investasi di sektor portofolio, tapi juga investasi langsung di sektor riil (foreign direct investment/FDI).

Selain itu, kondisi tersebut diharapkan juga membuat sektor swasta bergerak karena biaya utang (cost of borrowing) untuk korporasi akan turun. Turunnya imbal hasil (yield) surat utang pemerintah penting karena selama ini menjadi tolok ukur bagi korporasi swasta dalam menetapkan imbal hasil. “Yield obligasi korporasi bisa lebih murah lagi,” ujarnya.

“Korporasi swasta yang financing lima tahun bisa turun di kisaran 8- 8,5% dan ini sangat kompetitif karena kalau datang ke bank dapat bunga 10% untuk kredit jangka panjang tidak mudah,” tuturnya.

Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nurhaida mengatakan, pembiayaan nonbank diperlukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Meski masih kecil secara nominal, pembiayaan nonbank terus meningkat.

“Pada tahun 2015, pembiayaan melalui penawaran saham perdana (IPO), obligasi, maupun sukuk mencapai Rp116,48 triliun. Pada 2016, jumlahnya meningkat menjadi Rp195,38 atau naik 67%. Sejak awal 2017 sampai saat ini juga sudah mencapai Rp49,51 triliun,” kata Nurhaida. OJK juga mendorong korporasi swasta untuk memanfaatkan pasar keuangan untuk meraup dana jangka panjang.

OJK, kata Nurhaida, berupaya mempermudah proses pendaftaran IPO atau penerbitan obligasi korporasi. Salah satunya pendaftaran melalui cabang di daerah. “Jadi tidak harus datang ke Jakarta. Itu bisa mengurangi biaya dan proses bisa lebih cepat. Kami juga akan mendorong registrasi lewat elektronik dan mudah-mudahan akan banyak perusahaan yang melirik pasar modal,” ujar dia.

Presiden Direktur Mandiri Sekuritas Silvano Rumantir mengatakan, peringkat layak investasi dari S&P akan mendorong masuknya modal asing, terutama dana pensiun dari Jepang. Untuk itu, kondisi pasar keuangan, terutama pasar modal perlu ditingkatkan untuk menarik para investor.

Menurut dia, OJK sebagai regulator harus terus mendorong agar korporasi masuk ke dalam pasar modal sebagai emiten di mana saat ini baru 540 perusahaan yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI).

Selain itu, instrumen investasi di BEI dinilainya juga perlu diperkaya. “Kita mendorong agar dirilis produk-produk baru, khususnya instrumen nonbank. Yang penting risikonya jelas, regulasi jelas karena banyak investor yang antre dan bertanya-tanya instrumen investasi apa yang ada di Indonesia,” katanya.