JAKARTA - Pengamat komunikasi politik Universitas Pelita Harahap Emrus Sihombing menilai orasi Veronica Koman Liau yang mengecam Presiden Joko Widodo bisa bergulir ke proses hukum.

Apalagi cewek pendukung Basuki T Purnama (Ahok) itu menempatkan rezim Presiden Joko Widodo dan pemerintahan sebelumnya di era Susilo Bambang Yudhoyono dalam posisi buruk. Veronica dalam orasinya di depan para Ahoker -julukan bagi pendukung Ahok- di depan Rutan Cipinang, Selasa (9/5/2017) menyebut rezim Presiden Jokowi lebih parah daripada SBY.

Dalam pandangan Emrus, pernyataan Vero mengandung meta meaning yang sangat mendalam. Yakni menempatkan rezim Jokowi dan SBY dalam kategori parah dalam mengelolah negara.

Hanya saja, bedanya pada tingkat keparahannya saja yang batasannya masih sumir dan multitafsir. "Akibatnya, bisa berujung ke meja peradilan, sebagai tuduhan yang tidak mengenakkan didengar," kata Emrus, Jumat (12/5/2017).

Dia lantas mencontohkan lagi sebuah pernyataan sang orator di salah satu media online yang menyebutkan. Yakni kalimat yang berbunyi hari ini kita dipertontonkan oleh peradilan yang nista. Tidak ada itu istilah penistaan agama. Yang ada adalah peradilan yang sangat nista dan hakim yang nista.

Menurut Emrus, pernyataan itu juga bisa berbuntut. "Lagi-lagi menyebut peradilan nista dan hakim yang nista, tanpa diikuti ukuran nista itu apa," kata Emrus.

Untuk itu, Emrus menegaskan, sebaiknya orator yang bersangkutan sesegera mungkin menjelaskan definisi dan ukuran "nista" yang dimaksud. Dengan demikian, katanya, publik dapat memahami jalan pikir orator tersebut.

Bila tidak, bisa dimaknai merendahkan lembaga peradilan dan profesi hakim itu sendiri. "Jika yang terjadi merendahkan, urusannya bisa ke pengadilan," kata Direktur Eksekutif EmrusCorner ini.