NABLUS - Majid Hanani, seorang warga Palestina berusia 64 tahun, terpaksa hidup sebagai manusia gua. Rumahnya yang terletak di Desa Tana, timur Kota Nablus, Tepi Barat, telah diratakan oleh buldoser-buldoser Israel.

Rumah Hanani dan 300 rumah warga Palestina lainnya dihancurkan oleh Israel pada awal tahun ini. Penghancuran itu mendorong warga setempat mengungsi dan mencari perlindungan di dalam gua-gua terdekat.

"Hidup lebih sulit di dalam gua. Kami kekurangan kebutuhan dasar. Tapi kami tidak memiliki alternatif lain. Kami membangun rumah kami dari seng dan buldoser Israel akhirnya datang dan menghancurkannya," ujar Hanani, kepada Kantor Berita Anadolu.

Ia mengaku telah melihat penghancuran rumah terjadi di desanya selama lebih dari 20 kali. Sambil menonton televisi bertenaga surya, Hanani mengaku takut jika pelecehan tentara Israel dan para pemukim Yahudi akan terus berlanjut.

"Itu pemukim Yahudi yang datang beberapa tahun yang lalu dengan kafilahnya. Hari ini, ia membuka sebuah peternakan sapi. Dia mendirikan sebuah pos pemukiman di sana," ujar Hanani sambil menunjuk sebuah pos di puncak bukit terdekat.

"Sekarang mereka ingin memperpanjang kekuasaan dengan merebut tanah yang kami tinggali sebelum pendudukan 1967," ujar dia.

Hanani memiliki sekitar 200 domba dan hidup dari uang yang ia dapat dari menjual susu domba dan keju yang dibuat istrinya. Ia menggambarkan gua yang mereka tempati sebagai sebuah kerajaan sederhana. 

"Ini adalah hidup yang sederhana. Kami hanya ingin hidup dalam keselamatan dan keamanan," katanya.

Gua tersebut berisi dua tempat tidur kecil, satu televisi yang bertengger di atas meja reyot, dan oven sederhana. "Karena frekuensi penghancuran rumah yang dilakukan Israel, kami berharap dapat menghabiskan sebagian besar hidup kami di sini," kata Hanani.

Di gua lain yang terletak berdekatan, Fursan Hasan (59 tahun) tinggal bersama keluarganya dalam kondisi yang sama dengan Hanani.

"Kami sudah tinggal di desa Tana sejak lama, seperti yang orang tua dan kakek-nenek kami lakukan. Tapi Israel ingin mengusir kami dari daerah itu, mengambil kendali tanah dan menyerahkannya kepada pemukim," kata Hasan.

"Kami tidak menimbulkan ancaman bagi siapa pun di sini. Kami hidup sederhana dengan peternakan domba kami dan hidup dari susu dan keju yang kami buat. Tapi dari waktu ke waktu, buldoser datang dan menghancurkan segalanya, memaksa kami mencari perlindungan di gua-gua," keluhnya.

Salah satu anak Hasan, Sabrin (7), menjelaskan bagaimana tentara Israel merobohkan rumah dan sekolahnya. Satu-satunya sekolah di desa itu telah dihancurkan selama tiga kali oleh buldoser Israel.

Perjanjian Oslo II, yang ditandatangani Israel dan Otoritas Palestina pada 1993 telah membagi Tepi Barat menjadi Area A, B, dan C. Menurut ketentuan perjanjian itu, Israel melarang warga Palestina melakukan kegiatan konstruksi di Area C dan akan menghancurkan setiap bangunan Palestina yang dibangun di dalamnya.

Area C, yang merupakan 60 persen wilayah total Tepi Barat, dikendalikan pasukan keamanan Israel dan pemerintah Israel. Warga Palestina yang ingin membuat konstruksi di area ini, harus mendapatkan persetujuan pemerintah Israel sesuai dengan perjanjian Oslo. Namun, persetujuan macam ini jarang diberikan.

Sekitar 500 ribu pemukim Israel kini tinggal di lebih dari 100 pemukiman yang dibangun di seluruh Tepi Barat dan Yerusalem Timur sejak Israel menduduki wilayah pada 1967. Hukum internasional memandang Tepi Barat dan Yerusalem Timur sebagai wilayah yang diduduki dan menganggap semua bangunan Israel di tanah itu ilegal.

Palestina menginginkan Yerusalem dan Tepi Barat, bersama dengan Jalur Gaza sebagai bagian dari negara mereka yang merdeka. Meski keadaan semakin suram, penduduk Palestina tetap menantang Israel.

"Kami tidak akan pernah menyerah. Jika mereka menghancurkan rumah kami, kami akan terus membangun kembali," ujar Hasan.

Bulan lalu, Knesset (parlemen Israel) mengesahkan undang-undang yang berlaku surut untuk melegalkan bangunan Israel yang dibangun di atas tanah Tepi Barat, Palestina. Bangunan tersebut dianggap ilegal berdasarkan hukum internasional.

Sejak awal 2017, pemerintah Israel telah menyetujui pembangunan lebih dari 7.250 unit rumah Yahudi di Yerusalem Timur dan Tepi Barat.